Nationalgeographic.co.id – Ketika menyebut kata petani atau pertanian, gambaran bapak dan ibu petani berusia paruh baya mengolah tanah serta menandur langsung terbayang di benak.
Namun, gambaran tersebut jauh berbeda dengan yang ditemukan di Desa Bendo, Kelurahan Ngentakrejo, Kulonprogo.
Di desa kecil tersebut tinggal Arif Afandi (23) yang mengupayakan pertanian bermodal sepetak tanah di pekarangan rumahnya. Melihat Arif mengolah tanah, menyemai, hingga merawat tanaman-tanaman pangan di halaman rumahnya, bayangan soal petani di atas, buyar.
“Ini stroberi, bayam brasil, pakcoy, cabai, jagung, dan sawi. Ada labu air tapi belum berbuah. Timun dan pare sudah mulai (berbuah),” kata Arif sembari menunjuk tanaman-tanaman di lahan berbentuk “L” tersebut saat ditemui tim National Geographic Indonesia, Senin (16/11/2020).
Baca Juga: Mengamati Maleo dan Menelusuri Peninggalan Megalitikum di Lore Lindu
Di belakang rumah tersebut terdapat kolam buis beton. Arif menjelaskan di sana ia membudidayakan ikan lele.
Arif sebelumnya bekerja sebagai resepsionis di sebuah hotel di Yogyakarta. Pandemi Covid-19 yang memukul sektor pariwisata membuatnya harus menelan pil pahit—kehilangan mata pencaharian, sementara kebutuhan hidup harus terus dipenuhi.
Namun, inspirasi justru datang ke dalam pikirannya di masa sulit tersebut. Ia melihat potensi dari bercocok tanam karena bidang pertanian inilah yang tetap hidup di masa pandemi.
Ia kemudian memutuskan bergabung dengan kelompok anak muda yang mengupayakan pertanian di desanya, yaitu Srikandi Tani Desa yang diasuh oleh Ana Susanti (27). Bersama komunitas tersebut ia pun belajar banyak soal pertanian.
Selain itu ia berkesempatan mengunjungi lahan Petani Idaman milik Karang Taruna Desa Argomulyo, Bantul.
“Sejak kunjungan itu saya tertarik untuk mulai menggarap tanah. Di sana tanaman ditata rapi dan dikelola dengan baik. Saya merasa dapat membuat sistem pertanian tersebut di Desa Bendo,” ujarnya.
Penulis | : | Nana Triana |
Editor | : | Sheila Respati |
KOMENTAR