Nationalgeographic.co.id – Di sebuah desa kecil di bagian tenggara Indonesia, pagelaran seni tari kerap digelar. Tak jarang, wisatawan ikut berjejer menonton, mulai dari wistawan domestik hingga mancanegara.
Tepakkan kendang, siulan suling, serta gema gong bergaung di udara mengiringi setiap gerakan para penari. Setiap gerakan dari penari tampak sederhana tetapi memukau.
Mereka seakan terhanyut dalam alunan musik. Namun, siapa sangka bahwa mereka sebenarnya bergerak tanpa mengikuti ritme musik sama sekali. Sebaliknya, penabuh musiklah yang menyesuaikan ritme dan irama musiknya dengan gerakan para penari.
Sebab, para penari di desa tersebut adalah penyandang bisu tuli, yang dalam bahasa Bali disebut kolok.
Desa tempat pagelaran seni tari tersebut digelar bernama Desa Bengkala yang terletak di Kabupaten Buleleng, Bali. Oleh sebab itu, tarian yang disajikan tadi dinamakan Tari Kolok Bengkala. Desa Bengkala sering pula disebut dengan Desa Kolok.
Baca Juga: Pesta Kesenian Bali, Budaya Mengikat Perbedaan dan Memikat Wisatawan
Desa Bengkala termasuk dalam salah satu desa dengan komunitas bisu tuli terbanyak di dunia. Publikasi Buletin Penelitian Sistem Kesehatan dari Kementerian Kesehatan RI (2012) mencatat, sebanyak 2 persen masyarakat Desa Bengkala lahir dalam keadaan bisu tuli.
Tidak banyak yang menyangka, Pulau Dewata yang terkenal akan hiruk pikuk kota dan tempat wisatanya, ternyata memiliki pojok sunyi tempat mereka menjunjung kelestarian budaya Bali lewat tarian.
Seni tari yang unik
Keterbatasan yang dimiliki oleh komunitas ini bukan menjadi dinding yang membatasi mereka dalam beraktivitas. Termasuk dalam menggaungkan seni tari sebagai bagian dari adat dan budaya Bali.
Bahkan, komunitas kolok di Desa Bengkala telah berhasil membuat gerakan tarian sendiri, salah satunya Tarian Jalak Anguci yang diciptakan pada 2017. Dibimbing oleh Ida Ayu Trisnawati, atau disapa Ibu Dayu, tarian ini mengambil konsep burung Jalak yang menjadi ikon Pulau Bali.
Baca Juga: Manfaatkan Teknologi, Roh Tari Topeng Mimi Rasinah Bangkit di Tengah Pandemi
Penulis | : | Yussy Maulia |
Editor | : | Sheila Respati |
KOMENTAR