“Jadi Rumphius waktu dia keliling-keliling di Indonesia timur, daerah Sulawesi, Ambon, Ternate, Tidore, dan lan-lain, dia sudah menjumpai itu kacang di akhir abad 17, menjelang abad 18,” ujar Ary Budiyanto, antropolog sekaligus peneliti kuliner dari Universitas Brawijaya dalam acara webinar bertajuk Djedjak Katjang Tjina di Noesantara pada Jumat, 26 Maret 2021.
“Dan pada saat yang sama Rumphius juga bilang bahwa di abad yang sama kacang sudah banyak ditemukan di Batavia dan dibawa oleh orang-orang Cina. Ditanam di sana dan dijadikan minyak kacang, selain untuk konsumsi camilan,” tambah Ary.
Lombard dalam tulisannya pada 1996 menjelaskan bahwa pada pertengahan abad ke-17 Rumphius telah mencatat keberadaan tumbuhan kacang di kepulauan Ambon dan Maluku. Rumphius menduga kacang ini dibawa dari Jepang oleh orang Cina dan dia mencatat bahwa kacang ini banyak dibudidayakan di Cina dan Makassar dan kemudian diketahui pula sudah banyak dibudidayakan di Batavia.
Baca Juga: Cengkih Ternate, Keuntungan yang Menggiurkan Para Penjelajah Samudra
Namun, menurut Lombard dalam buku Nusa Jawa: Jaringan Asia dan Aak dalam buku terbitan Kanisius berjudul Kacang Tanah, informasi awal masuknya komoditas kacang tanah di Batavia dalam versi resmi Belanda adalah terjadi pada abad 18, tepatnya pada tahun 1755.
Lombard tetap menyebut bahwa kacang ini mulanya dibawa dan dikenalkan oleh orang-orang Cina. Dan pada tahun 1778 kacang sudah menyebar ke daerah sekitar pesisir Jawa saat perkebunan tebu semakin marak.
Sejak dulu kacang sebenarnya adalah tanaman yang banyak tumbuh berbagai belahan dunia. Tanaman ini kuat dan mudah tumbuh di banyak tanah. Tanaman ini diyakini berasal dari Amerika Selatan, tepatnya di daerah Brasilia, namun saat ini telah menyebar ke seluruh dunia yang beriklim tropis atau subtropis.
Baca Juga: Terhenti sejak Konflik 1999, Maluku Akhirnya Kembali Ekspor Pala