Orang Cina dalam Cerita Sebutir Kacang di Jalur Rempah Nusantara

By Utomo Priyambodo, Kamis, 10 Juni 2021 | 13:03 WIB
Gambar litografi kapal dagang yang melewati perairan China dan Asia Tenggara. Dua bendera di kapal menunjukkan hubungan antara Kesultanan Islam di Nusantara dengan Tiongkok. (Jan Huyghen van Linschoten)

Masuknya kacang tanah ke Indonesia pada abad ke-17 diperkirakan karena dibawa oleh pedagang-pedagang Spanyol, Cina, atau Portugis sewaktu melakukan pelayarannya dari Meksiko ke Maluku setelah tahun 1597.

“Pada tahun 1863 Holle memasukkan kacang tanah dari Inggris dan pada tahun 1864 Scheffer memasukkan pula kacang tanah dari Mesir. Republik Rakyat Tiongkok dan India kini merupakan penghasil kacang tanah terbesar dunia,” catat Ary berdasarkan hasil studi literaturnya.

Dalam catatan kuno Cina abad ke-16, kacang disebut sebagai huā shēng. Ini merupakan kependekan dari luòhuāshēng yang secara harfiah berarti “benih lahir dari bunga yang jatuh ke tanah”.

Menurut catatan Rumphius, kacang juga memiliki nama sebutan yang berbeda-beda di berbagai negara. Di Brasil, kacang dikenal dengan nama mundubi. Orang-orang dari Peru menyebutnya lerio manobi, sementara orang Spanyol menyebutnya ibimani.

Abraham Jacob van der Aa dalam buku Nederlands Oost-Indië of Beschrijving der Nederlandsche bezittingen in Oost-Indië menguraikan bahwa orang-orang Cina dan Jawa pada abad ke-19 ini paling sering memanfaatkan kacang untuk diekstraksi dan kemudian diambil minyaknya. Cara pembuatannya, van der Aa uraikan, kacang setelah diambil dari dalam tanah, dicuci bersih dan dikeringkan sebentar, lalu dipipil dan dikeringkan lagi. Setelah cukup kering, kacang diuapi dan dipres untuk diambil minyaknya.

Baca Juga: Ketika Setengah Kilogram Pala Banda Dibeli Seharga Tujuh Sapi Gemuk

Ilustrasi botani Arachis hypogaea L. karya Franz Eugen Köhler, Köhler's Medizinal-Pflanzen. Orang-orang Cina dan Jawa pada abad ke-19 ini paling sering memanfaatkan kacang untuk diekstraksi dan kemudian diambil minyaknya. (Plant-Pictures)

Usaha minyak kacang ini banyak ditemukan sekitar Batavia serta perkotaan dan pedalaman pesisiran Jawa yang menurut van der Aa menghasilkan bau yang sangat tidak enak atau gampang tengik. Minyak kacang ini banyak digunakan untuk keperluan masak-memasak seperti penggunaan minyak sawit saat ini.

Bahkan, minyak kacang di awal abad ke-19 hadir sebagai satu dari syarat sajen manten yang bernama Sajen Majang Patanen, yakni kewajiban membawa dua gendul (botol) minyak kacang. Sementara untuk sajen ruwatan cukup satu gendul kebak (satu botol penuh) minyak kacang.

“Jadi minyak kacang sudah menjadi industri yang besar di abad 18 sampai 19. Bahkan tahun 1930 di Majalah Kejawen orang Jawa masih mengenal minyak kacang untuk masak. Boleh tumis, boleh goreng, tapi kita masih mengonsumsi minyak kacang,” tutur Ary.

Sayangnya, orang-orang Indonesia saat ini sudah tak lagi menggunakan minyak kacang dan lebih beralih ke minyak sawit yang praktik ekspansi perkebunannya terus menjadi kontroversi. “Dan setelah (Indonesia) merdeka hilanglah itu semua (minyak kacang),” ujar Ary.

Dalam perkembangannya kacang kemudian masuk ke menu makanan Jawa menjadi alternatif kegurihan wijen yang mahal, kemiri yang pucat, maupun kacang lainnya dalam persausan pecelan. Kacang tak lagi dimanfaatkan sebagai minyak, tapi masih banyak dipakai sebagai persausan berbagai makanan seperti pecel, gado-gado, ketoprak, karedok, sate, batagor, siomai, dan banyak lainnya.

Baca Juga: Misi Jalur Rempah, KRI Dewaruci Akan Kunjungi 13 Titik di Nusantara