Studi Ungkap Psikologi Pelaku Bom Bunuh Diri, Ternyata Mirip Tentara

By Utomo Priyambodo, Senin, 29 Maret 2021 | 14:15 WIB
Para tentara di medan perang. Pengalaman dalam tim bisa mendorong kesediaan untuk melakukan tindakan pro-kelompok yang ekstrem. (KaninRoman/Getty Images/iStockphoto)

Studi tersebut menggunakan model matematika untuk menghasilkan serangkaian hipotesis yang diuji dalam eksperimen. "Menggunakan pendekatan pemodelan matematika untuk menjelaskan masalah ini memungkinkan kami mengembangkan wawasan dan pengetahuan baru yang sebelumnya tidak dapat diakses," ujar Sergey Gavrilets, profesor ekologi dan biologi evolusioner dan matematika di UT dan direktur asosiasi untuk kegiatan ilmiah di NIMBioS yang menjadi salah satu peneliti dalam studi ini seperti dilansir Science Daily.

Ada lima hipotesis mengenai hal ini: pengalaman bersama mendorong kesediaan untuk melakukan tindakan pro-kelompok yang ekstrem; pengalaman negatif bersama membuat individu berkontribusi lebih dari pengalaman euforia; semakin intens pengalamannya, semakin kuat efek pro-sosialnya; efek dari pengalaman negatif bersama pada perilaku pro-sosial jauh lebih kuat di mana kelompok bersaing secara langsung dengan kelompok lain daripada jika mereka bekerja sama melawan alam; dan efek dari pengalaman negatif bersama bisa lebih kuat daripada efek kekerabatan.

Para jagawana dan tentara berpatroli di Taman Nasional Virunga untuk membasmi FDLR, kelompok milisi bersenjata yang beroperasi di wilayah timur Kongo. (Brent Stirton/National Geographic)

Hipotesis tersebut kemudian diuji secara empiris dalam berbagai populasi studi yang berbeda, termasuk para veteran militer AS yang terjun di perang Vietnam, kelompok anggota persaudaraan dan perkumpulan mahasiswi yang telah mengalami perpeloncoan, kelompok penggemar sepak bola Liga Utama Inggris (English Premier League), para praktisi seni bela diri Jiu Jitsu Brasil yang terkadang menggunakan cara berlatih yang menyakitkan, dan para saudara kembar untuk memeriksa tingkat penggabungan identitas ini.

Baik berdasarkan penelitian secara teoritis maupun empiris, studi tersebut menyimpulkan bahwa pengalaman negatif yang dibagikan secara keseluruhan adalah mekanisme yang kuat untuk mendorong perilaku pro-sosial, yang dalam kondisi tertentu bisa sangat merugikan individu yang bersangkutan.

Dalam studi tersebut ditemukan, hasil dari proses penggabungan identitas dalam kelompok yang tidak memiliki hubungan kekeluargaan atau kekerabatan ternyata bisa melampaui rasa kesatuan identitas dalam kelompok keluarga. Proses ini bisa dilakukan dengan berbagi pengalaman yang menyakitkan dan menakutkan. Itu sebabnya anggota kelompok teroris ataupun anggota kelompok militer remsi seperti tentara negara dilatih dengan sangat keras dengan tempaan yang menyakitkan dan menakutkan.

"Pengalaman disforik bersama bisa membuat individu-individu itu merasa lebih dekat melebihi kedekatan antarsaudara," simpul Gavrilets.

Baca Juga: Satu Tahun GRID STORE: Tersedia Layanan Pelanggan Majalah-el Berdiskon