Studi Ungkap Psikologi Pelaku Bom Bunuh Diri, Ternyata Mirip Tentara

By Utomo Priyambodo, Senin, 29 Maret 2021 | 14:15 WIB
Para tentara di medan perang. Pengalaman dalam tim bisa mendorong kesediaan untuk melakukan tindakan pro-kelompok yang ekstrem. (KaninRoman/Getty Images/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id—Aksi peledakan bom bunuh diri yang dilakukan di depan Gereja Katedral Makassar maupun di tempat-tempat lainnya mendapat kecaman banyak orang. Bahkan tidak sedikit juga orang yang menganggap bahwa para pelaku bom diri adalah manusia-manusia yang sakit jiwa.

Namun anggapan itu ternyata keliru berdasarkan hasil beberapa studi. Sebab, para pelaku bom bunuh diri ternyata juga berpikir rasional dengan cara dan keyakinannya sendiri. Selain itu, sifat rela mengorbankan diri sendiri hingga mati itu sebenarnya juga ada pada orang-orang lain selain para pelaku bom bunuh diri.

Dalam studi yang dibuat oleh National Institute for Mathematical and Biological Synthesis (NIMBioS), disebutkan bahwa aksi nekat mengorbankan diri sendiri yang dilakukan oleh para pelaku bom bunuh diri ini sebenarnya juga ada dalam diri para tentara. Perilaku pengorbanan diri yang ekstrem pada pelaku bom bunuh diri dan tentara ini telah menghadirkan teka-teki selama berabad-abad, bagaimana kesediaan untuk melakukan pengorbanan terakhir, terutama untuk membela kelompok yang tak memiliki hubungan keluarga ini, bisa muncul pada kelompok-kelompok manusia dari zaman ke zaman?

Studi dari institut yang berbasis di University of Tennessee (UT) di Knoxville, Amerika Serikat, itu memberikan beberapa jawaban. Dalam laporan studi yang telah terbit di jurnal Scientific Reports di Nature itu, para peneliti memberikan sejumlah wawasan terkait penyebab pengorbanan diri dalam konflik kekerasan di seluruh dunia dari perang suci hingga perang antargeng. Konflik yang tak hanya melukai dan membunuh orang lain, tapi juga mencelakakan diri sendiri.

Baca Juga: Badan Kesehatan AS Beri Panduan untuk Menghadapi Wabah Zombie

 

Para peneliti dalam studi tersebut menemukan bahwa berbagi pengalaman negatif yang kuat dapat memungkinkan kerja sama yang ekstrem dalam sebuah kelompok dan, dalam beberapa kondisi, menimbulkan kesediaan untuk mati demi kelompok. Para peneliti berteori bahwa evolusi manusia menjelaskan asal mula ikatan mendalam ini melalui pengalaman menyakitkan bersama, yang mengarah ke jenis kerja sama yang ekstrem.

Studi ini didasarkan pada bukti eksperimental yang menunjukkan bahwa kesediaan untuk berjuang dan mati demi suatu kelompok mungkin dimotivasi oleh apa yang disebut "penggabungan identitas." Dalam proses ini, identitas pribadi dan sosial menjadi kabur dan lebur, kemudian menghasilkan rasa kesatuan dengan kelompok yang dapat melampaui berbagai batas, bahkan melampuai batas ikatan keluarga atau kekerabatan.

Tentara Freikorps berusaha menggulingkan pemerintah Republik Weimar. (Bain News Service/Buyenlarge/Getty Images via History.com)

Penelitian tersebut dilakukan oleh tim peneliti internasional dari UT, NIMBioS, University of Oxford, University of Melbourne di Australia, National University of Distance Education di Madrid, Spayol, Queen's University di Belfast, Iralndia Utara, University of London, dan RAND Corporation.

Para peneliti tertarik pada apa yang menyebabkan fusi identitas atau proses penggabungan identitas dalam kelompok-kelompok yang rentan melakukan aksi kekerasan ini. Mereka juga ingin menguji bukti psikologis awal yang menunjukkan bahwa salah satu penyebab kuat dari fusi identitas adalah berbagi pengalaman disforik, yakni jenis pengalaman yang menyakitkan dan menakutkan.

Mereka menyatakan bahwa kesediaan untuk melakukan tindakan yang mahal bagi kelompok adalah strategi perilaku yang dikembangkan pada nenek moyang manusia untuk memungkinkan keberhasilan dalam aktivitas kolektif yang berisiko tinggi dan konflik antarkelompok. Kelompok yang anggotanya menyatu setelah berbagi pengalaman menyakitkan akan lebih mungkin terlibat dalam konflik antarkelompok dan bertahan, sedangkan kelompok leluhur yang tidak bersatu akan cenderung kurang mampu bertahan hidup. Para peneliti menduga, dalam kelompok modern, kesediaan untuk berkorban demi kelompok hanya akan diekspresikan dalam kondisi ekstrem.

Baca Juga: Begitu Dahsyat Ledakan Beirut Lebanon sampai Atmosfer Bumi Terguncang

 

Studi tersebut menggunakan model matematika untuk menghasilkan serangkaian hipotesis yang diuji dalam eksperimen. "Menggunakan pendekatan pemodelan matematika untuk menjelaskan masalah ini memungkinkan kami mengembangkan wawasan dan pengetahuan baru yang sebelumnya tidak dapat diakses," ujar Sergey Gavrilets, profesor ekologi dan biologi evolusioner dan matematika di UT dan direktur asosiasi untuk kegiatan ilmiah di NIMBioS yang menjadi salah satu peneliti dalam studi ini seperti dilansir Science Daily.

Ada lima hipotesis mengenai hal ini: pengalaman bersama mendorong kesediaan untuk melakukan tindakan pro-kelompok yang ekstrem; pengalaman negatif bersama membuat individu berkontribusi lebih dari pengalaman euforia; semakin intens pengalamannya, semakin kuat efek pro-sosialnya; efek dari pengalaman negatif bersama pada perilaku pro-sosial jauh lebih kuat di mana kelompok bersaing secara langsung dengan kelompok lain daripada jika mereka bekerja sama melawan alam; dan efek dari pengalaman negatif bersama bisa lebih kuat daripada efek kekerabatan.

Para jagawana dan tentara berpatroli di Taman Nasional Virunga untuk membasmi FDLR, kelompok milisi bersenjata yang beroperasi di wilayah timur Kongo. (Brent Stirton/National Geographic)

Hipotesis tersebut kemudian diuji secara empiris dalam berbagai populasi studi yang berbeda, termasuk para veteran militer AS yang terjun di perang Vietnam, kelompok anggota persaudaraan dan perkumpulan mahasiswi yang telah mengalami perpeloncoan, kelompok penggemar sepak bola Liga Utama Inggris (English Premier League), para praktisi seni bela diri Jiu Jitsu Brasil yang terkadang menggunakan cara berlatih yang menyakitkan, dan para saudara kembar untuk memeriksa tingkat penggabungan identitas ini.

Baik berdasarkan penelitian secara teoritis maupun empiris, studi tersebut menyimpulkan bahwa pengalaman negatif yang dibagikan secara keseluruhan adalah mekanisme yang kuat untuk mendorong perilaku pro-sosial, yang dalam kondisi tertentu bisa sangat merugikan individu yang bersangkutan.

Dalam studi tersebut ditemukan, hasil dari proses penggabungan identitas dalam kelompok yang tidak memiliki hubungan kekeluargaan atau kekerabatan ternyata bisa melampaui rasa kesatuan identitas dalam kelompok keluarga. Proses ini bisa dilakukan dengan berbagi pengalaman yang menyakitkan dan menakutkan. Itu sebabnya anggota kelompok teroris ataupun anggota kelompok militer remsi seperti tentara negara dilatih dengan sangat keras dengan tempaan yang menyakitkan dan menakutkan.

"Pengalaman disforik bersama bisa membuat individu-individu itu merasa lebih dekat melebihi kedekatan antarsaudara," simpul Gavrilets.

Baca Juga: Satu Tahun GRID STORE: Tersedia Layanan Pelanggan Majalah-el Berdiskon