Studi Ungkap Psikologi Pelaku Bom Bunuh Diri, Ternyata Mirip Tentara

By Utomo Priyambodo, Senin, 29 Maret 2021 | 14:15 WIB
Para tentara di medan perang. Pengalaman dalam tim bisa mendorong kesediaan untuk melakukan tindakan pro-kelompok yang ekstrem. (KaninRoman/Getty Images/iStockphoto)

Para peneliti dalam studi tersebut menemukan bahwa berbagi pengalaman negatif yang kuat dapat memungkinkan kerja sama yang ekstrem dalam sebuah kelompok dan, dalam beberapa kondisi, menimbulkan kesediaan untuk mati demi kelompok. Para peneliti berteori bahwa evolusi manusia menjelaskan asal mula ikatan mendalam ini melalui pengalaman menyakitkan bersama, yang mengarah ke jenis kerja sama yang ekstrem.

Studi ini didasarkan pada bukti eksperimental yang menunjukkan bahwa kesediaan untuk berjuang dan mati demi suatu kelompok mungkin dimotivasi oleh apa yang disebut "penggabungan identitas." Dalam proses ini, identitas pribadi dan sosial menjadi kabur dan lebur, kemudian menghasilkan rasa kesatuan dengan kelompok yang dapat melampaui berbagai batas, bahkan melampuai batas ikatan keluarga atau kekerabatan.

Tentara Freikorps berusaha menggulingkan pemerintah Republik Weimar. (Bain News Service/Buyenlarge/Getty Images via History.com)

Penelitian tersebut dilakukan oleh tim peneliti internasional dari UT, NIMBioS, University of Oxford, University of Melbourne di Australia, National University of Distance Education di Madrid, Spayol, Queen's University di Belfast, Iralndia Utara, University of London, dan RAND Corporation.

Para peneliti tertarik pada apa yang menyebabkan fusi identitas atau proses penggabungan identitas dalam kelompok-kelompok yang rentan melakukan aksi kekerasan ini. Mereka juga ingin menguji bukti psikologis awal yang menunjukkan bahwa salah satu penyebab kuat dari fusi identitas adalah berbagi pengalaman disforik, yakni jenis pengalaman yang menyakitkan dan menakutkan.

Mereka menyatakan bahwa kesediaan untuk melakukan tindakan yang mahal bagi kelompok adalah strategi perilaku yang dikembangkan pada nenek moyang manusia untuk memungkinkan keberhasilan dalam aktivitas kolektif yang berisiko tinggi dan konflik antarkelompok. Kelompok yang anggotanya menyatu setelah berbagi pengalaman menyakitkan akan lebih mungkin terlibat dalam konflik antarkelompok dan bertahan, sedangkan kelompok leluhur yang tidak bersatu akan cenderung kurang mampu bertahan hidup. Para peneliti menduga, dalam kelompok modern, kesediaan untuk berkorban demi kelompok hanya akan diekspresikan dalam kondisi ekstrem.

Baca Juga: Begitu Dahsyat Ledakan Beirut Lebanon sampai Atmosfer Bumi Terguncang