Banyak sukarelawan mengikuti ekspedisi itu. Beberapa orang pada tim tinggal di gubuk tradisional berlantaikan tanah. Sementara yang lain tinggal di rumah berlantai beton dan beratap logam. Mereka juga berpartisipasi pada kegiatan seperti berburu, memancing, holtikultura, dan berbagai kegiatan lain yang memungkinkan mereka bersentuhan dengan patogen. Termasuk cacing gelang dan cacing cambuk yang tumbuh subur di tanah yang terkontaminasi kotoran. Cepon-Robins pun mensurvei 75 peserta, tetang apa yang membuat mereka jijik.
"Mereka paling muak dengan hal-hal seperti menginjak kotoran dan meminum chicha, minuman yang dibuat dengan mengunyah yuca dan memuntahkannya," kata Cepon-Robins di National Geographic.
Baca Juga: Penyakit Misterius Bikin Beruang di AS Jadi Jinak seperti Anjing
Chica merupakan minuman fermentasi tradisional dan salah satu sumber utama air di Suku Shuar. Namun bukan Chicha yang membuat para responden itu jijik, melainkan si pembuatnya. "Meminum Chicha dari seseorang yang sakit atau memiliki gigi yang busuk adalah hal yang menjijikan bagi mereka," katanya.
Para peneliti kemudian mengumpulkan sampel darah dan feses dari partisipan. Kemudian membandingkan kesehatan mereka dari tingkat rasa jijiknya. Alhasil, individu yang memiliki sensitivitas jijik tinggi lebih sedikit terinfeksi virus dan bakteri. Laporan ini tayang pada Proceedings of The National Academy of Sciences.
Pada responden yang diteliti, mereka tidak dapat menghindar dari hal-hal yang mungkin dianggap kotor oleh sebagian orang dalam budaya industri. Rasa jijik membantu mereka meminimalkan kontak yang mungkin sebagai pembawa penyakit mikroba. Hal itu membuat Cepon-Robins percaya bahwa rasa jijik berevolusi dan melindungi nenek moyang kita dari penyakit. Seperti hipotesis Darwin.
Baca Juga: Satu Tahun GRID STORE: Tersedia Layanan Pelanggan Majalah-el Berdiskon