Orangutan Tapanuli Menuju Jurang Kepunahan Akibat PLTA dan Perburuan

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 2 April 2021 | 06:00 WIB
Seekor mawas jantan menantang saingannya dengan mengernyingkan gigi dan mengguncang dahan. Mawas, atau orangutan sumatra, kini diakui sebagai spesies sendiri dan berjumlah sekitar 14.000 di alam liar. (Tim Laman)

Nationalgeographic.co.id—Berdasarakan penelitian yang dilakukan 2017, orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis), Sumatra Utara tersisa 2,7% dari habitat aslinya yang ditempati 130 tahun yang lalu. Secara keseluruhan orangutan di sana tersisa 800 ekor di Batang Toru, dan termasuk spesies terancam punah.

Salah satu anggota penelitian 2017 itu, kemudian mempublikasikan hasil studi yang kini dipimpinnya, Erik Meijaard.

Dalam studi terbaru yang dipublikasikan di PLOS One Januari lalu, ancaman orangutan Tapanuli punah karena perburuan liar, perkebunan, konflik dengan manusia, pembangunan daerah, tambang, dan proyek PLTA yang mencaplok area konservasi.

Ia berujar di The Hill, jika lebih dari 1 persen populasi orangutan dewasa saja dibunuh, ditangkap, atau dipindahkan setiap tahun, orangutan Tapanuli kan jadi spesies kera besar pertama yang punah di era modern.

Baca Juga: Dalam Sehari Tiga Orangutan di Kalimantan Tengah Berhasil Diselamatkan

Meijaard dan tim menulis, jika dilihat secara historis luas tempat tinggal orangutan terdorong ke kawasan pegunungan Batang Boru. Para peneliti pun mencoba membandingkan data-data temuan di masa kolonial, tahun 1940-an, hingga pengamatan terbaru.

Menurut mereka, habitat orangutan makin sempit ke kawasan pegunungan itu semakin sempitnya habitat mereka yang sebelumnya.

Padahal, orangutan perlu berpindah-pindah di antara berbagai lingkungan, termasuk ke dataran rendah untuk bertahan hidup. Keberadaannya yang kini di dataran tinggi membuatnya terjebak pada situasi yang tak cocok untuk hidup secara optimal.

Pemetaan habitat orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) yang makin menyempit. (PLOS One & PT Balai Pustaka)

"Hal ini mengancam untuk semakin mengurangi dan memecah habitat yang tersisa, mengurangi peluang penyebaran orangutan di antara subpopulasi, dan merusak kelangsungan hidup pipulasi melalui tingkat kematian yang tidak berkelanjutan," tulis para peneliti.

Kini, orangutan yang tersisa berlokasi di Sungai batang Toru, Tapanuli Selatan, dan harus berhadapan dengan proyek PLTA dari PT North Sumatera Hydro Energy (PT NHSE).

Proyek ini dinilai membuat sub-populasi orangutan Tapanuli dapat saling berbaur, sehingga menebabkan perkawinan sedarah dan membatasi keanekargam genetik spesies itu.

Baca Juga: Penyakit Misterius Bikin Beruang di AS Jadi Jinak seperti Anjing

 

Sebuah peluang ditemukan oleh para peneliti berkat pagebluk Covid-19. Peluang itu bersumber hilangnya pasokan dana perusahaan itu dari Bank of China, sehingga proyek dapat ditunda selama beberapa tahun ke depan.

Meijaard dan tim menyarankan pengembang, pemerintah, International Union for Conservation of Nature (IUCN), dan Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP) memanfaatkannya untuk menyidik ancaman sesungguhnya untuk orangutan.

Langkah itu kemudian dapat menjadi pertimbangan kebijakan dan tindakan konservasi pada orangutan Tapanuli lebih lanjut.

Padahal pada 10 Juli 2018, melansir dari Mongabay Indonesia, 25 ilmuwan seluruh dunia mendesak pemerintah membatalkan proyek PLTA di kawasan habitat terakhir orangutan itu. Mereka tergabung dalam Alliance of Leading Environmental Researchers and Thinkers (ALERT).

Mereka menyebut, pembangunan itu merupakan lonceng kematian bagi orangutan Tapanuli.

“Karena habitat orangutan Tapanuli  akan diserang begitu parah oleh bendungan dan infrastruktur pendukungnya, itu berarti upaya sangat dibutuhkan untuk memulihkan koridor hutan untuk menghubungkan kembali populasi kera yang berkurang bersama-sama hampir pasti akan gagal,” tulis mereka.

Baca Juga: Menjaga Habitat, Cara Terbaik Lindungi Orangutan dari Kepunahan

Gangguan lainnya dari PLTA juga termasuk pembangunan terowongan besar yang kan memotong 13 km hutan primer. 

Orangutan ()

“Para pembuat bendungan kehilangan argumen mereka dengan buruk," kata William F Laurance, ilmuwan James Cook University Australia.

"Jika ada, mereka hanya akan menciptakan, lebih besar, masalah jangka panjang untuk perusahaan mereka sendiri, karena kami mungkin perlu melihat lebih luas aktivitas mereka di seluruh wilayah, dan mulai melobi pemegang saham mereka dan mitra dagang lainnya."

Hal yang mengejutkan bagi Laurance dan ilmuwan lainnya adalah PLTA ini merupakan proyek yang didorong sangat keras oleh Bank of China, Sinohydro, dan mitra bisnis Indonesia lainnya.

Dalam konteks itu, kata Laurence, sangat mengejutkan, Bank of China, Sinohydro dan mitra Indonesia terus mendorong proyek ini dengan keras.

"Jika mereka berperilaku buruk di Sumatra Utara, seberapa besar perilaku mereka di tempat lain?” pungkasnya.