Mempengaruhi Iklim di Indonesia, Tibet Kian Hangat di Masa Depan

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 7 April 2021 | 10:00 WIB
Yaks <i>(Bos mutus)</i> dengan latar pegunungan berlapis salju di Tibet. Dataran tinggi (Yunaidi Joepoet)

Nationalgeographic.co.id—Dikenal sebagai atap dunia, dataran tinggi Tibet memiliki ragam gunung tertinggi di dunia yang diselimuti salju abadi, seperti Everest yang berbatasan dengan Nepal.

Es yang dimiliki dataran tinggi itu memiliki volume es tebesar setelah Arktik dan Antartika, dan menjadi sumber air lusinan sungai besar di Asia. Tetapi penelitian terbaru dari Environmental Research Letters (Vol. 16 No. 4, 30 Maret 2021), mengungkapkan Tibet telah mengahangat lebih cepat dari rata-rata global dalam beberapa dekade terakhir.

Para peneliti itu adalah Tianjun Zhou dan Wenxia Zhang dari Institute of Atmospheric Physic Chinese Academy of Sciences di jurnal Environmental Research Letters (Vol. 16 No. 4, 30 Maret 2021). Mereka telah mengamati suhu di Tibet dan dampaknya sejak 1960-an.

Hasil itu berdasarkan penghitungan mereka ada suhu yang diamati dengan menggunakan CMIP5, arsip model iklim yang didorong oleh kekuatan eksternal. Lalu untuk analisis dampaknya, para peneliti menggunakan deteksi jejak yang optimal.

Baca Juga: Dampak Bencana dan Perubahan Iklim terhadap Kaum Perempuan Sejagad

 

Lewat data yang diamati dari tahun 1961 hingga 2005, mereka menemukan Dataran Tinggi Tibet telah mengalami pemanasan sebesar 1,23 °C hingga 1,37°C.

Meski gas rumah kaca yang berdampak itu merupakan faktor eksternal, para peneliti juga menulis bahwa faktor internal juga memiliki pengaruh.

Peristiwa yang saat ini terjadi dapat berdampak pada lingkungan sekitar yang dipengaruhi proses hidrologi dari Tibet. Akibatnya dapat menyebabkan mencairnya gletser yang bermuara pada  bencana alam seperti tanah longsor, aliran puing, dan semburan danau glasial.

Mempertimbangkan pemanasan antropogenik yang diremehkan di Dataran Tinggi Tibet oleh model iklim global saat ini, tim melangkah lebih jauh untuk memperbaiki proyeksi masa depan. Mereka menggunakan hasil atribusi sebagai batasan pengamatan. Mereka juga menemukan Dataran Tinggi Tibet mungkin akan menghangat lebih cepat dari perkiraan sebelumnya di masa depan.

Selain melihat pola di masa lalu hingga kini, mereka juga memproyeksikan suhu di masa mendatang. Mereka melihat bahwa kemungkinan besar daerah atap dunia itu akan menghangat lebih cepat di beberapa dekade mendatang hingga akhir abad ini. 

Baca Juga: Fenomena Siklon Tropis di Indonesia, Kenapa Dinamakan Bunga dan Buah?

Dalam rentang 2041 hingga 2060, mereka menulis, bahwa suhunya akan meningkat sebesar 3 derajat Celcius. Sedangkan pada 2081 hingga 2060, bisa memanas hingga 5,95 derajat Celcius.

"Pemahaman yang jelas tentang pemanasan masa lalu di Dataran Tinggi Tibet, terutama pengaruh dari aktivitas manusia--dapat membantu mengantisipasi dan menafsirkan perubahan di masa depan yang lebih baik," terang Zhou dalam rilis.

Peran Tibet di Asia Tenggara

Selain menjadi 'menara air raksasa' di Asia yang mengairi sungai di benua Asia, Tibet ternyata memiliki peran penting untuk cuaca dan iklim Asia Tenggara, seperti Indonesia.

Penelitian yang dilakukan oleh Tong-Wen Wu dan Zheng-An Qian pada 2003, mengungkapkan, selama Tibet mengalami musim salju yang lebat dapat berdampak pada rendahnya curah hujan selama musim panas di Asia Selatan dan Tenggara.

Namun secara umum, cuaca yang terjadi di Dataran Tinggi Tibet lebih banyak berdampak pada kawasan di Tiongkok tengah seperti kawasan lembah Sungai Yangtze. Laporan itu mereka publikasikan di jurnal American Meteorological Society (Vol. 16 Issue 12)

Sedangkan ditemuan lain, keberadaan Dataran Tinggi Tibet di musim dingin juga telah berkontribusi untuk menciptakan pusaran siklon yang sering terjadi di kawasan selatan garis khatulistiwa.

Pusaran siklon sendiri dapat menyebabkan durasi musim kemarau yang relatif lama di Asia Tengah dan selatan. Tetapi di sisi lain juga membantu melembabkan iklim di Asia Tenggara (Wu, G. & Liu, Y. 2016:7).