Bukti Perkawinan Campur Sebabkan Genetika Leluhur Perlahan Memudar

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 8 April 2021 | 09:45 WIB
Cindy dan Daniel Perez, pernikahan Jr membuat tujuh keluarga: dua anak masing-masing dari perkawinan (Citra Anastasia)

Nationalgeographic.co.id—Memiliki penduduk yang beragam suku, etnis, bangsa, dan ras, merupakan hal yang umum bagi masyarakat seperti di Indonesia dan Amerika Serikat. Hal ini merupakan konsekuensi perkawinan campur.

Alih-alih melahirkan genetika campuran pada anak, ternyata sebuah studi yang dilakukan oleh para ahli biologi di Stanford University menemukan pandangan lain terkait fenomena ini.

Mereka memublikasikannya dalam American Journal of Physical Anthropology tentang ras dan rasisme pada 27 Maret. Para peneliti menulis, ketika dua populasi dengan sifat yang berbeda bercampur dari generasi ke generasi, mereka memiliki informasi genetika tentang leluhurnya yang lebih sedikit.

Sebelumnya mereka mengira bahwa dua gen dari masing-masing orangtua membuat bentuk fisik anak berbeda. Mereka pun berharap si anak akan banyak membawa sifat dari leluhurnya. Akan tetapi, hasil dari pemodelan justru berkata lain.

Baca Juga: Ilmuwan Temukan Bakteri yang Tak Bisa Terdeteksi Sistem Imun Manusia

"Penelitian ini menunjukkan bahwa setelah cukup waktu berlalu, itu tidak lagi benar, dan Anda tidak dapat lagi mengidentifikasi nenek moyang genetik seseorang hanya berdasarkan ciri-ciri tersebut, " terang penulis utama studi Jaehee Kim, dalam rilis.

Kim bersama tim mengembangkan pemodelan genetika ini secara matematika untuk memahami pencampuran genetik.

Lewat pemodelan itu, para peneliti menimbang beberapa skenario. Skenario itu menyimulasikan perkawinan acak dalam suatu populasi.

Pada skenario lain, mereka mencoba untuk memasangkan individu yang memliki pencampuran genetik (si anak), dengan individu yang memiliki sifat serupa. Konteks ini juga dikenal sebagai perkawinan asortatif.

Baca Juga: Ternyata, Aplikasi Kencan Daring Dapat Menimbulkan Ketimpangan Ras

Walter Chang dan Nadia Shutava mengadakan pernikahan pribadi di Korea Selatan sebelum upacara sipil. (Wayne Lawrence)

Seiring berjalannya waktu jika percampuran genetik terus dilakukan oleh mereka yang sudah tercampir, para peneliti menulis, kehilangan ciri dan informasi genetika nenek moyang ini perlahan tidak dibawa.

"Dalam model, jika perkawinan asortatif bergantung pada sifat yang diturunkan secara genetik, korelasi antara sifat dan keturunan genetik akan bertahan lebih lama daripada perkawinan secara acak," jelas Noah A. Rosenberg, salah satu peneliti. Akan tetapi, korelasi tersebut pada akhirnya akan tetap terpisah."

Pemahaman akan pemisahan dengan genetik leluhur itu dapat dipertimbangkan berbagai cara. Karena varian genetik sangat menonjol pada pigmentasi, maka para peneliti berfokus pada kulit.

Apabila seseorang kebetulan mendapat sebagian besar keturunan genetik dari satu populasi,  varian genetiklah yang menentukan pigmentasi kulit mereka. Perombakan varian genetik terjadi pada setiap generasi, yang apat menyebabkan 'ketidaksesuaian' dengan gen leluhurnya.

Penelitian ini bukan berarti tak memiliki keterbatasan dalam pemodelannya. Ada beberapa hal yang luput untuk mempengaruhi perubahan genetik: kondisi lingkungan yang juga turut berperan dalam pengembangan sifat.

Baca Juga: Obituari Umbu Landu Paranggi: Presiden Malioboro hingga Mahaguru Puisi

Misal, pada tinggi badan individu yang memiliki beberapa dasar genetik leluhurnya, tetapi sangat mungkin bergantung pada faktor sekitarnya, seperti nutrisi yang didapat.

Para peneliti mengakui keterbatasan itu dalam laporannya. Sebab model dilakukan ini hanya berfokus pada skenario pencampuran awal yang terjadi sekaligus. Penelitian ini juga tak memandang faktor lainnya dari populasi yang memengaruhi percampuran gen dari waktu ke waktu.

Karena faktor eksternal juga penting, para peneliti berencana menambahkannya dalam beberapa fitur penelitian ke depan.

Menurut Kim, temuan kali ini memiliki tujuan penting untuk memahami makna sosial dari ciri fisik manusia.

"Ketika masyarakat memahami makna sosial dengan sifat seperti pigmentasi kulit, model ini menunjukkan bahwa setelah pencampuran dalam waktu lama, sifat itu tidak  memberi tahu kita tentang pewarisan genetik—atau tentang sifat lain yang didasarkan pada genetika," ungkap Kim.

Penelitian ini terinspirasi oleh penelitian yang pernah dilakukan tim lain di Brasilia. Penelitian terdahulu itu mengungkapkan bahwa Brasilia memiliki banyak pencampuran genetik dalam sejarahnya.

Setelah mengambil sampel individu dan mempelajari genomnya, ahli biologi di studi itu berpendapat bila pemisahan terjadi antara ciri fisik dan pencampuran genetik. Mereka mengklaim bila seiring waktu, ciri-ciri pigmentasi kulit makin sedikit memberikan informasi tentang genetik dari leluhur yang berasal dari Eropa, Afrika, atau pribumi Amerika.

Maka hasil penelitian dengan metode terbaru ini, menurut para peneliti Stanford University, sebagian besar mendukung pendapat penelitian terdahulu itu.