Maiko dan Kisah Pelacuran Perempuan Jepang di Hindia Belanda

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 9 April 2021 | 11:00 WIB
Perempuan Jepang di Batavia pada 1870-an. (KITLV 30547)

Hal itu ditulis oleh Saya Shiraishi dan Takashi Shiraishi di bukunya, Orang Jepang di Koloni Asia Tenggara, bahwa pemerintah Jepang mengakui enam golongan profesi: pengimpor barang langsung, penjual obat-obatan dan barang umum, penjual keliling, perikanan, pengusaha rumah makan, dan prostitusi.

Berikutnya, usai Perang Dunia I dan munculnya Kekaisaran Jepang sebagai imperial yang setara dengan bangsa Eropa, prostitusi dianggap sebagai 'kehinaan nasional' (kokujoku).

Pekerjaan itu dicabut oleh pemerintah Jepang, termasuk di Hindia Belanda pada 1912 oleh konsulat. Jepang mulai menaruh minat di dunia perdagangan barang. Ekspor pelacur pun dihentikan.

Walau demikian, prostitusi perempuan Jepang di Hindia Belanda tak berhenti. Stedi Wardoyo dari FIB Universitas Gadjah Mada dalam jurnal Izumi mencatat, keberadaan pelacur Jepang semakin terkonsentrasi di kota-kota yang menjadi pusat perekonomian awal 1920-an

Bahkan memiliki pasar khusus karena mereka dikenal sebagai pelacur yang menjaga kebersihan, rendah hati, dan keloyalannya, tulis Sunjayadi.

Baca Juga: Soekarno dan Sumbangsih Wanita Kupu-Kupu Malam dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

Pandangan itu senada dengan apa yang ditulis di Bumi Manusia oleh Pram dengan perspektif Maiko--yang menyembunyikan penyakitnya meskipun Babah Ah Tjong tertular sipilis setelah 'bermain' dengannya:

Aku sebagai perempuan Jepang satu-satunya tidak dicurigai. Di dunia plesiran di atas bumi ini pelacur Jepang selalu dianggap paling bersih dan pandai menjaga kesehatan, senyawa dengan jaminan bebas penyakit.

Maka aku tak diperiksa.

Sunjayadi mengutip Rob Niuewenhuyskualitas perempuan Jepang yang dikenal baik ini kerap membuat mereka yang bekerja sebagai prostitusi ditebus para bujangan Eropa--terutama di perkebunan Deli.

Perempuan Jepang dianggap ideal bagi pria Eropa yang kesepian, tulisnya. Meskipun biasanya pria-pria itu kembali ke Belanda, atau menikah dengan sesama orang Eropa yang kesetiaannya belum tentu setara dengan perempuan Jepang.

Baca Juga: Penuturan Dua Penyintas: Bagaimana Cara Mandi dan Makan di Kamp Tawanan Jepang?