Maiko dan Kisah Pelacuran Perempuan Jepang di Hindia Belanda

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 9 April 2021 | 11:00 WIB
Perempuan Jepang di Batavia pada 1870-an. (KITLV 30547)

 

Nationalgeographic.co.id—Aku datang dan berasal dari Nagoya, Jepang, ke Hong Kong sebagai pelacur. Majikanku seorang Jepang, yang kemudian menjual diriku pada seorang Tionghoa di Hong Kong.

Di Hong Kong, ia hanya beberapa minggu, hingga singkatnya dia dibeli orang Jepang di Singapura seharga 75 dolar sebelum dijual lagi ke Batavia. 

Majikanku, orang Jepang itu, kemudian terlalu benci padaku. Aku sering dipukulinya. Malah pernah aku disiksanya dengan sundutan api rokok. Soalnya karena lannggananku semakin berkurang juga. Memang demikian risiko yang dapat menimpa seorang pelacur paling tersohor pun: sipilis

Inilah riwayat Maiko, yang merupakan tokoh sampingan di lakon Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer saat dibuang di Pulau Buru. Dia merahasiakan penyakitnya dari majikannya yang baru di Batavia: Babah Ah Tjong, supaya tak dianiaya lagi.

Baca Juga: Berhasil Lepas dari Jugun Ianfu Karena Menyamar Sebagai Lelaki

Tak hanya di Bumi Manusia, Pram juga mengisahkan Maiko di Anak Semua Bangsa.

Pram menulis, "Dia hanya seorang di antara sekian banyak pelacur Jepang, meninggalkan tanah kelahiran, dengan tekad mengumpulkan modal, membangun perusahaan bersama calon suami."

Senada dengan kisah itu, Achmad Sunjayadi lewat bukunya, (Bukan) Tabu di Nusantara, bahwa prostitusi memanglah landasan sosial-ekonomi bagi komunitas mereka di Asia Tenggara.

Mereka membuka bisnis itu paling banyak di Malaya-Inggris dan Hindia Belanda. Biasanya mereka datang dari Kyushu barat daya, bahkan menjadi pelopor komunitas masyarakat Jepang di luar negeri.

Di Hindia Belanda, pelacur Jepang sudah mewarnai dunia pelacuran di Surabaya sejak abad ke-19. Olivier Johannes Raap dalam Kota di Djawa Tempo Doeloe menulis, saking terkenalnya keberadaan mereka pun dijadikan nama jalan di dekat Jembatan Merah Surabaya: Jalan Kembang Jepun.

Baca Juga: Perempuan Nusantara dalam Lingkungan Patriarki Hindia Belanda

Banyak perempuan Jepang menjadi pelacur di Hindia Belanda bukanlah tanpa alasan. Abad ke-19 akhir, masyarakat Jepang hampir semua bergantung pada praktik ini karena kemiskinan yang tinggi di negeri mereka.

Bergantungnya pada pelacuran, Sunjayadi menulis, bahkan pria Jepang sendiri mengeksploitasi mereka sebagai germo dan pemilik bordil.

Rumah perkampungan milik seorang Jepang di Batavia. (KITLV 106891)

Pria Jepang bahkan melayani kebutuhan sehari-hari kaum perempuannya lewat bekerja sebagai tukang pijit, fotografer, tukang gigi, tukang cukur, penjual tekstil, pemilik restoran dan bar, hingga dokter umum.

Awalnya pemerintah Jepang tak menyukai kebiasaan orang perantauan yang bergantung pada pelacuran di negeri orang.

Saat konsulat-konsulat mereka dibuka satu per satu di negeri asing pada 1890-an hingga 1910-an, mereka terpaksa menyetujui kegiatan ini karena tujuan ekonomi, dan pengiriman adalah sumber devisa asing untuk Jepang.

Baca Juga: Buku Harian Homoseksual dan Reserse Polisi Moral Zaman Hindia Belanda

Hal itu ditulis oleh Saya Shiraishi dan Takashi Shiraishi di bukunya, Orang Jepang di Koloni Asia Tenggara, bahwa pemerintah Jepang mengakui enam golongan profesi: pengimpor barang langsung, penjual obat-obatan dan barang umum, penjual keliling, perikanan, pengusaha rumah makan, dan prostitusi.

Berikutnya, usai Perang Dunia I dan munculnya Kekaisaran Jepang sebagai imperial yang setara dengan bangsa Eropa, prostitusi dianggap sebagai 'kehinaan nasional' (kokujoku).

Pekerjaan itu dicabut oleh pemerintah Jepang, termasuk di Hindia Belanda pada 1912 oleh konsulat. Jepang mulai menaruh minat di dunia perdagangan barang. Ekspor pelacur pun dihentikan.

Walau demikian, prostitusi perempuan Jepang di Hindia Belanda tak berhenti. Stedi Wardoyo dari FIB Universitas Gadjah Mada dalam jurnal Izumi mencatat, keberadaan pelacur Jepang semakin terkonsentrasi di kota-kota yang menjadi pusat perekonomian awal 1920-an

Bahkan memiliki pasar khusus karena mereka dikenal sebagai pelacur yang menjaga kebersihan, rendah hati, dan keloyalannya, tulis Sunjayadi.

Baca Juga: Soekarno dan Sumbangsih Wanita Kupu-Kupu Malam dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

Pandangan itu senada dengan apa yang ditulis di Bumi Manusia oleh Pram dengan perspektif Maiko--yang menyembunyikan penyakitnya meskipun Babah Ah Tjong tertular sipilis setelah 'bermain' dengannya:

Aku sebagai perempuan Jepang satu-satunya tidak dicurigai. Di dunia plesiran di atas bumi ini pelacur Jepang selalu dianggap paling bersih dan pandai menjaga kesehatan, senyawa dengan jaminan bebas penyakit.

Maka aku tak diperiksa.

Sunjayadi mengutip Rob Niuewenhuyskualitas perempuan Jepang yang dikenal baik ini kerap membuat mereka yang bekerja sebagai prostitusi ditebus para bujangan Eropa--terutama di perkebunan Deli.

Perempuan Jepang dianggap ideal bagi pria Eropa yang kesepian, tulisnya. Meskipun biasanya pria-pria itu kembali ke Belanda, atau menikah dengan sesama orang Eropa yang kesetiaannya belum tentu setara dengan perempuan Jepang.

Baca Juga: Penuturan Dua Penyintas: Bagaimana Cara Mandi dan Makan di Kamp Tawanan Jepang?