Maiko dan Kisah Pelacuran Perempuan Jepang di Hindia Belanda

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 9 April 2021 | 11:00 WIB
Perempuan Jepang di Batavia pada 1870-an. (KITLV 30547)

Tak hanya di Bumi Manusia, Pram juga mengisahkan Maiko di Anak Semua Bangsa.

Pram menulis, "Dia hanya seorang di antara sekian banyak pelacur Jepang, meninggalkan tanah kelahiran, dengan tekad mengumpulkan modal, membangun perusahaan bersama calon suami."

Senada dengan kisah itu, Achmad Sunjayadi lewat bukunya, (Bukan) Tabu di Nusantara, bahwa prostitusi memanglah landasan sosial-ekonomi bagi komunitas mereka di Asia Tenggara.

Mereka membuka bisnis itu paling banyak di Malaya-Inggris dan Hindia Belanda. Biasanya mereka datang dari Kyushu barat daya, bahkan menjadi pelopor komunitas masyarakat Jepang di luar negeri.

Di Hindia Belanda, pelacur Jepang sudah mewarnai dunia pelacuran di Surabaya sejak abad ke-19. Olivier Johannes Raap dalam Kota di Djawa Tempo Doeloe menulis, saking terkenalnya keberadaan mereka pun dijadikan nama jalan di dekat Jembatan Merah Surabaya: Jalan Kembang Jepun.

Baca Juga: Perempuan Nusantara dalam Lingkungan Patriarki Hindia Belanda

Banyak perempuan Jepang menjadi pelacur di Hindia Belanda bukanlah tanpa alasan. Abad ke-19 akhir, masyarakat Jepang hampir semua bergantung pada praktik ini karena kemiskinan yang tinggi di negeri mereka.

Bergantungnya pada pelacuran, Sunjayadi menulis, bahkan pria Jepang sendiri mengeksploitasi mereka sebagai germo dan pemilik bordil.

Rumah perkampungan milik seorang Jepang di Batavia. (KITLV 106891)

Pria Jepang bahkan melayani kebutuhan sehari-hari kaum perempuannya lewat bekerja sebagai tukang pijit, fotografer, tukang gigi, tukang cukur, penjual tekstil, pemilik restoran dan bar, hingga dokter umum.

Awalnya pemerintah Jepang tak menyukai kebiasaan orang perantauan yang bergantung pada pelacuran di negeri orang.

Saat konsulat-konsulat mereka dibuka satu per satu di negeri asing pada 1890-an hingga 1910-an, mereka terpaksa menyetujui kegiatan ini karena tujuan ekonomi, dan pengiriman adalah sumber devisa asing untuk Jepang.

Baca Juga: Buku Harian Homoseksual dan Reserse Polisi Moral Zaman Hindia Belanda