Mohammad Hatta Meluruskan Kontroversi Peristiwa Rengasdengklok 1945

By National Geographic Indonesia, Minggu, 1 Agustus 2021 | 11:00 WIB
Mohammad Hatta berbicara selama sesi parlemen sementara, KNIP, dan para delegasi pada awal 1947. Bukunya bertajuk 'Seputar Proklamasi' yang terbit pada 1969, telah menyingkap apa yang sesungguhnya terjadi jelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. (Cas Oorthuys/Nederlands Fotomuseum )

Nationalgeographic.co.id—Tiap-tiap kejadian yang bersejarah sering diikuti oleh dongeng dan legenda,” ujar Mohammad Hatta dalam tulisannya yang berjudul ‘Legende dan Realitas Sekitar Proklamasi 17 Agustus’ di majalah Mimbar Indonesia tanggal 17 Agustus 1951.

Menurut pandangannya, legenda yang dibubuhi fantasi belaka mampu menghasilkan kenang-kenangan. Namun tak sedikit legenda dibuat karena hasil penanaman sejumlah golongan berkepentingan.

“Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah suatu Kejadian besar yang menentukan jalan sejarah Indonesia,” tulis Hatta dalam bab pertama bukunya Sekitar Proklamasi. “Dan sebagai suatu kejadian yang bersejarah sudah tentu ia diikuti pula oleh berbagai dongeng dan legenda.”

 

Sekitar Proklamasi merupakan salah satu buku Muhammad Hatta yang diterbitkan tahun 1969. Bukunya ini menjadi hasil dari perluasan tulisannya di majalah Mimbar Indonesia terkait hal-hal tidak benar tentang Proklamasi Indonesia Merdeka.

Bagi Hatta, peristiwa Rengasdengklok menjadi salah satu di antara beberapa hal-hal tidak benar yang tumbuh subur dalam penulisan sejarah sekitar proklamasi. Dimana di sana tertulis bahwa dirinya dan Soekarno hanya bersedia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia setelah dipaksa para pemuda.

Dalam bukunya, Hatta mengungkapkan bahwa sejarah menuliskan dirinya dan Soekarno menolak desakan para pemudia yang memaksa mereka menyetujui proklamasi kemerdekaan Indonesia. Itu mengapa mereka dibawa ke Rengasdengklok dan dipaksa untuk menandatangi Proklamasi Indonesia.

Hatta menemukan banyak keganjilan dalam sejumlah penulisan sejarah terkait perisitiwa Rengasdengklok. Banyak dari mereka yang menuliskan alasan dibawanya Hatta dan Soekarno ke Rengasdengklok dari Jakarta untuk menghindarkan mereka dari pengaruh Jepang. Seperti yang diketahui, Soekarno dan Hatta kala itu tinggal di rumah Laksamana Maeda di Jakarta.

Baca Juga: Bung Karno dan Sate Sebagai Penyambung Lidah Rakyat Asia-Afrika

Mohammad Hatta, saat itu mantan Wakil Presiden Republik Indonesia, tiba di Sciphol, Amsterdam, Belanda pada 1 Oktober 1963. (Algemeen Nederlands Persbureau )

 

Lalu sejarah membingungkan itu berlanjut ketika dari Rengasdengklok, diceritakan kedua pemimpin negara itu dibawa kembali ke Jakarta pada hari yang sama. “Karena dikuatirkan kedua pemimpin itu akan diperalatkan oleh Jepang kalau tetap tinggal di rumahnya,” begitu sejarah menuliskannya.

“Dikuatirkan kedua pemimpin akan diperalatkan oleh Jepang kalau tetap tinggal di rumahnya di Jakarta, tetapi mereka dibawa kembali ke Jakarta. Logika?” Hatta mempertanyakannya.

Banyak hal yang membuat peristiwa Rengasdengklok diwarnai dengan banyak hal tidak benar. Dari kabar bahwa kedua pemimpin negara tersebut yang dipaksa menandatangani proklamasi dengan todongan senjata para pemuda, hingga kejadian yang tidak pernah terjadi di sana terkait pembentukan konsep Proklamasi Kemerdekaan oleh kedua pemimpin negara dan para pemimpin pemuda.

Hatta tak menyalahkan bagaimana pernyataan kemerdekaan Indonesia, persiapan teks proklamasi, hingga pembukaan UUD 1945 yang secara resmi diserahkan penyusunannya kepada Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

Baca Juga: Inilah Pernyataan Laksamana Maeda Demi Kemerdekaan Indonesia

“Yang menjadi soal ialah cara memproklamasikan kemerdekaan itu. Di sini terdapat dua paham yang prinsipiil bertentangan,” tulis Hatta. Dua paham bertentangan yang dimaksudkan olehnya adalah paham revolusioner para pemuda dan paham yang dimiliki oleh kedua pemimpin negara tersebut.

Keadaan sempat memanas tatkala pemuda yang diwakili oleh Subadio Sastrosatomo dan Subianto mendatangi rumah Hatta pada 15 Agustus 1945 silam.

“Lebih dari setengah jam kami bertengkar, masing-masing mencoba meyakinkan yang lain, tetapi tidak berhasil,” ujar Hatta yang masih mempertahankan pendiriannya. “Keduanya menegaskan pendirian mereka yang disebut revolusioner. Saya mempertahankan pendirian yang rasionill yang tidak menghabiskan tenaga dengan percuma.”

Jika dikaitkan kembali dengan kekhawatiran para pemuda akan pengaruh Jepang kepada kedua pemimpin negara atas Proklamasi Kemerdekaan, namun di hari yang sama keduanya dibawa kembali ke Jakarta. Begini Hatta mencoba meluruskannya.

Dirinya dan Soekarno ditahan oleh Sukarni, lelaki yang memimpin para pemuda di Rengasdengklok itu pada 16 Agustus 1945. Namun pukul 6 malam, Sukarni memberitahukan kedatangan Mr. Soebardjo yang diminta Gunseikanbu untuk membawa Soekarno, Hatta, Fatmawati, bayi Guntur, dan Residen Sutardjo ke Jakarta kembali.

Baca Juga: Bung Hatta: Stalin Memarahi Semaoen Karena Konvensi Nasionalis

Mohammad Hatta berbicara selama sesi parlemen sementara, KNIP, dan para delegasi pada awal 1947. (Cas Oorthuys/Nederlands Fotomuseum )

 

Kepada Sukarni, Soebarjo pun mengatakan, “Buat apa pemimpin-pemimpin kita berada di sini, sedangkan banyak hal yang harus dibereskan selekas-lekasnya di Jakarta.”

“Kalau untuk saya, saya lebih senang beristirahat di sini sampai besok pagi,” ujar Hatta. “Besok pagi saja kita pulang. Semuanya sudah terlambat. Kerja yang seharusnya selesai tadi pagi, tidak jadi dikerjakan.”

Fatmawati, istri Soekarno menjadi orang pertama yang menolak gagasan Hatta tersebut. Ia mengkhawatirkan kondisi bayinya, Guntur yang stok susunya telah habis hari itu. “Ayo Bung, kita pulang sekarang juga,” tegas Fatmawati yang gagasannya juga didukung Soekarno dan Sutardjo.

Kabar burung yang terdengar bahwa rakyat membakari rumah-rumah orang Tionghoa akibat pemandangan langit di sebelah Barat yang memerah, nyaris mengurungkan niat mereka untuk kembali ke Jakarta.

Namun perjalanan ke Jakarta tetap dilanjutkan tatkala supir yang disuruh memeriksa keadaan oleh Soekarno kembali dan mengatakan, “Itu hanya rakyat yang membakar jerami.”

Baca Juga: Soekarno dan Sumbangsih Wanita Kupu-Kupu Malam dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia