Konsep Hindu-Buddha dalam Tata Ruang Kesultanan Islam di Jawa

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Senin, 12 April 2021 | 13:00 WIB
Para prajurit Keraton Yogyakarta, dari berbagai kesatuan wilayah, bersiap melakukan upacara Grebeg Syawal. (Mahandis Yoanata Thamrin)

Konsep Astadikpala ini sendiri sudah umum di dunia arkeologi Nusantara untuk memahami ruang. Berdasarkan catatan temuan, konsep dijalankan sejak masa Mataram kuno.

"Misalnya, istana Sultan kini selalu menghadap ke timur yang menyimbolkan Indra. Sebab Indra adalah rajanya para dewa," ungkapnya. "Lewat konsep ini, sultan itu identik sebagai penguasa dari timur."

Baca Juga: Sumpah di Perbukitan Mollo, Kemenangan Kaum Ibu Melawan Pertambangan

Abdi dalem Keraton Yogyakarta bersiap membakar kemenyan di kompleks makam Raja Mataram di Imogiri. (Budi ND Dharmawan)

Pada kasus keraton Yogyakarta, konsep Astadikpala kian nyata dengan meletakan alun-alun di sisi selatan yang menggambarkan dunia gaib dan kematian. Sisi selatan sendiri dalam konsep itu dipegang oleh dewa Yama--dewa yang akan dijumpai pertama kali oleh orang yang meninggal.

Sedangkan Gunung Merapi yang sebenarnya condong di sisi timur laut Jogja, yang merupakan arah perenungan dan ketenangan.

Astadikpala juga mudah ditemukan dalam rangkaian arsitektur dan gaya seni yang masih tersisa, bahkan di dalam masjid yang dikemas dengan estika Islam. Penggunaannya juga masih diaplikasikan dalam pakaian kebesaran Keraton dengan emblem dengan bentuk konsep itu.

Selain Astadikpala, hal seragam yang sangat menonjol dengan sisa kebudayaan Hindu-Buddha yang diterapkan juga lewat telaga buatan.

Wisatawan menikmati keindahan Umbul Muncar yang terletak di Kompleks Taman Sari Yogyakarta, Minggu ( (Yunaidi Joepoet)

"Setiap kali saya ke Trouwulan, itu ada segaran atau danau buatan yang berisi air sebagai penanda kota dan pelengkap kota," paparnya dan menerangkan penggunaan segara tua yang ditemukan barulah dari masa Majaphit.

Pembangunan danau buatan atau segara ini bisa dilihat di Kesultanan Cirebon lewat Balong Segara, Tasik Ardi oleh Kesultanan Banten, dan Tamansari oleh Kesultanan Yogyakarta.

Danau buatan itu sendiri memiliki dua makna, prgamatis dan dan simbolis. Munandar memaparkan, secara pragmatis ialah sebagai penampung air, cadangan air kejaan, dan rekreasi.

Pada sisi simbolik, tempat itu mengacu pada kekuatan makrokosmos karena tempat itu hanya boleh diisi Sultan sebagai simbol Jambudwipa. Tempat yang sering didatangi pihak Keraton di segara itu adalah pulau kecil di tengahnya untuk menyepikan diri.

Baca Juga: Simbol-simbol Relief Gereja Puh Sarang dalam Bingkai Hindu-Jawa

"Ini simbol kekuasaan dan keunggulan raja, sebagai simbol waruna--tempat tata aturan semesta. Berarti, tanpa raja, kerajaan ini bisa kacau," tambahnya.

Meski demikian, Munandar mengakui bahwa buku terbarunya yang mengkaji simbol dan konsep ini masih sekedar pengantar dan masih terbatas di Pulau Jawa saja.

Ia tak menutup kemungkinan bila konsep paham ini juga diterapkan di kerajaan di luar Pulau Jawa. Harapnya, paparannya lewat buku itu bisa jadi acuan untuk studi arkeologi keislaman yang memiliki kesamaan dengan masa Hindu-Buddha lebih dalam lagi.