Nationalgeographic.co.id—Meski kini dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia, ternyata dalam proses penyebarannya agama Islam mengadopsi tradisi Hindu-Buddha. Terbukti dari bangunan masa kesultanan yang memiliki falsafah tersebut.
Hal itu diungkap oleh arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar, lewat diskusi Arkeologi Al-Qur'an di Nusantara, Jumat, 9 April 2021. Dalam forum itu juga ia memperkenalkan bukunya, Lawang Seketeng, yang mencatat temuan adopsi itu.
Konsep Hindu-Buddha masih digunakan berkat pendekatan ajaran Islam yang disebarkan secara damai dan perlahan. Munandar menyebut, bahkan pembangunannya kesultanan masih menggunakan para pemikir yang mengetahui konsep itu.
Baca Juga: Sisik Melik Makna di Balik Toponimi 'Jalan Malioboro' di Yogyakarta
Adopsi konsep juga dinilai dianggap diperbolehkan, dengan syarat tak mengganggu paham akidah Islam.
"Kesinambungan konsep ruang ini saya amati terus berlanjut, seperti konsep Mahamerus sebagai pusat alam semesta, konsep Triloka--yang membagi tiga dunia, konsep Dewa Penjaga Mata Angin, dan Catuspatha," paparnya.
Konsep-konsep itu sebenarnya sudah dikenal di era Hindu-Buddha di Jawa, terutama di masa akhirnya, Kerajaan Majapahit.
Dalam paham Hindu-Buddha di Nusantara, masyarakat kerajaan mengenal penyakralan gunung. Kemudian diadopsi di periode Islam. Ia memberi contoh penyakralan tersebut lewat tempat makam para wali di gunung, dan keraton yang memiliki wilayah kuasa di sana.
"[Kesultanan] Cirebon sendiri--dekat tempat asal saya, mereka mengacu pada Gunung Ciremai yang ada di belakangnya. Itu dianggap sakral," ujarnya.
Baca Juga: Mudik Lewat Cirebon, Ini 5 Kuliner Khas untuk Berbuka Puasa
Pada konsep Triloka yang berdampak pada sistem tata ruang Kerajaan Hindu-Buddha pun diadopsi. Ia menyebut bagaimana sistem tata ruang keraton berbagai kesultanan di Jawa masih mengikuti Majapahit.
"Disadari atau tidak, tetap terlihat dalam penatapan keraton-keraton di Jawa. Coba kita lihat di Cirebon, pembagian triloka jeroan depan, belakang itu sangat nyata," jelasnya.
Konsep itu meletakkan pasar di sisi utara keraton, sama halnya dengan yang ada di Jogja, pasar Beringharjo. Meski kentara dan bukan prinsipnya, itu adalah simbol bahwa sisi utara selalu identik dengan dunia kehasratan.
Tata ruang ini juga kentara dengan konsep Astadikpala (Delapan Dewa Penjaga Mata Angin), yang terlihat dengan konsep pintu utama keraton dan alsafah peletakan bangunan kerajaan.
Konsep Astadikpala ini sendiri sudah umum di dunia arkeologi Nusantara untuk memahami ruang. Berdasarkan catatan temuan, konsep dijalankan sejak masa Mataram kuno.
"Misalnya, istana Sultan kini selalu menghadap ke timur yang menyimbolkan Indra. Sebab Indra adalah rajanya para dewa," ungkapnya. "Lewat konsep ini, sultan itu identik sebagai penguasa dari timur."
Baca Juga: Sumpah di Perbukitan Mollo, Kemenangan Kaum Ibu Melawan Pertambangan
Pada kasus keraton Yogyakarta, konsep Astadikpala kian nyata dengan meletakan alun-alun di sisi selatan yang menggambarkan dunia gaib dan kematian. Sisi selatan sendiri dalam konsep itu dipegang oleh dewa Yama--dewa yang akan dijumpai pertama kali oleh orang yang meninggal.
Sedangkan Gunung Merapi yang sebenarnya condong di sisi timur laut Jogja, yang merupakan arah perenungan dan ketenangan.
Astadikpala juga mudah ditemukan dalam rangkaian arsitektur dan gaya seni yang masih tersisa, bahkan di dalam masjid yang dikemas dengan estika Islam. Penggunaannya juga masih diaplikasikan dalam pakaian kebesaran Keraton dengan emblem dengan bentuk konsep itu.
Selain Astadikpala, hal seragam yang sangat menonjol dengan sisa kebudayaan Hindu-Buddha yang diterapkan juga lewat telaga buatan.
"Setiap kali saya ke Trouwulan, itu ada segaran atau danau buatan yang berisi air sebagai penanda kota dan pelengkap kota," paparnya dan menerangkan penggunaan segara tua yang ditemukan barulah dari masa Majaphit.
Pembangunan danau buatan atau segara ini bisa dilihat di Kesultanan Cirebon lewat Balong Segara, Tasik Ardi oleh Kesultanan Banten, dan Tamansari oleh Kesultanan Yogyakarta.
Danau buatan itu sendiri memiliki dua makna, prgamatis dan dan simbolis. Munandar memaparkan, secara pragmatis ialah sebagai penampung air, cadangan air kejaan, dan rekreasi.
Pada sisi simbolik, tempat itu mengacu pada kekuatan makrokosmos karena tempat itu hanya boleh diisi Sultan sebagai simbol Jambudwipa. Tempat yang sering didatangi pihak Keraton di segara itu adalah pulau kecil di tengahnya untuk menyepikan diri.
Baca Juga: Simbol-simbol Relief Gereja Puh Sarang dalam Bingkai Hindu-Jawa
"Ini simbol kekuasaan dan keunggulan raja, sebagai simbol waruna--tempat tata aturan semesta. Berarti, tanpa raja, kerajaan ini bisa kacau," tambahnya.
Meski demikian, Munandar mengakui bahwa buku terbarunya yang mengkaji simbol dan konsep ini masih sekedar pengantar dan masih terbatas di Pulau Jawa saja.
Ia tak menutup kemungkinan bila konsep paham ini juga diterapkan di kerajaan di luar Pulau Jawa. Harapnya, paparannya lewat buku itu bisa jadi acuan untuk studi arkeologi keislaman yang memiliki kesamaan dengan masa Hindu-Buddha lebih dalam lagi.