"Saya kumpulkan kartu pos tentang Indonesia sejak 1990-an, saya memulainya dari [tentang] Jawa," katanya dalam diskusi daring terkait bukunya yang diadakan Periplus, Sabtu, 10 April 2021.
"Untuk kumpulkan itu semua, Sumatera, Jawa, dan Bali itu gampang, karena banyak fotografi yang berkunjung ke sana dan dijadikan kartu pos. Cuma yang susah dan menjadi tantangan buat saya adalah mencari kartu pos dengan nuanasa Kalimantan, Sulawesi, dan Indonesia timur."
Ia menyebut bahwa ketertarikan mengoleksi kartu pos sejarah Indonesia karena negeri ini memiliki beragam budaya, etnis, dan bahasa.
Baca Juga: Fotografi Zaman Hindia Belanda, Lahir dari Eksotisme dan Kosmopolitan
"Konsep kebhinekaan ini menarik, dan tertuang di dalam sejarah. Kita bisa lihat bagaimana orang Batak punya bahasa sendiri, dan Bali juga punya bahasa sendiri," paparnya.
"Coba kalau mereka bertemu tanpa mengenal bahasa Melayu yang digunakan hari ini, mereka pasti saling bingung. Yang bisa bahasa Melayu juga saat itu cuma pedagang atau yang tinggal di pesisir."
Keberagaman dalam kartu pos yang ia pamerkan dalam presentasinya menguak semua wajah dan kebudayaan di masa lalu itu. Mulai dari Aceh yang memiliki nuansa keislaman yang kental, dan pulau Sumatera yang memiliki konsep matriarki.
Baca Juga: Perempuan Nusantara dalam Lingkungan Patriarki Hindia Belanda
Kemudian di Pulau Jawa dan Bali yang lebih identik dalam kebudayaan, keningratan kesultanan. Bahkan kehidupan di Batavia yang sangat maju akibat pengaruh dari Eropa sekaligus merupakan pusat administrasi kolonial.
Semakin ke timur, makin menampakkan wajah kebudayaan Indonesia yang masih tradisional dan sederhana dalam berpakian, hingga kehidupan sosialnya.
Foto di kartu pos semasa Hindia Belanda merupakan berkat tangan para fotografer yang berhasil menguak identitas itu, sehingga bisa diketahui dunia. Proses mencetaknya menjadi kartu pos bukanlah monopoli lembaga pos pemerintahan saja.