Filosofi Gudeg: Simbol Rindu dan Rekaman Perubahan Kota Yogyakarta

By National Geographic Indonesia, Rabu, 14 April 2021 | 17:00 WIB
Pulo Kenanga dalam kompleks Tamansari, Keraton Yogyakarta, sebelum gempa bumi besar pada 1867. (Geschiedenis van Nederlands Indie)

Cerita oleh Rachma Safitri Yogasari

 

Nationalgeographic.co.id—Bau sangit khas kayu bakar saat saya berkunjung ke dapur rumah produksi Yu Djum di Karanggayam bakda salat zuhur. Delapan orang karyawan bagian dapur saling berbagi tugas. Dua orang mencuci ayam kampung, tiga orang membagi potongan ayam ke dalam ember-ember besar sesuai bagian, dua orang mengaduk enam panci besar bergantian, dan satu orang lagi bertugas memastikan nyala api untuk tiga panci besar berisi telur bebek bacem.

Tak jauh dari dapur, ada tiga orang duduk tekun membuat takir, alas makanan menyerupai bentuk mangkuk dari daun pisang di ruang tengah. Dua dari tiga orang tersebut adalah Ibu Djuwariah atau biasa disebut Yu Djum dan Haryani Triwidodo, salah satu putri Yu Djum yang mulai 2005 kedapuk menjadi kepala peracik gudeg di rumah produksi Karangasem.

Baca Juga: Inilah Lukisan Awal Keraton Ngayogyakarta Karya Seniman VOC

Dapur, dari sinilah gudeg Yu Djum diracik. (Gudeg Yu Djum Pusat)