Filosofi Gudeg: Simbol Rindu dan Rekaman Perubahan Kota Yogyakarta

By National Geographic Indonesia, Rabu, 14 April 2021 | 17:00 WIB
Pulo Kenanga dalam kompleks Tamansari, Keraton Yogyakarta, sebelum gempa bumi besar pada 1867. (Geschiedenis van Nederlands Indie)

Beberapa orang yang saya temui melihat gudeg sebagai kendaraan untuk ingatan masa kanak-kanak dan keluarga. Sementara saya dan beberapa orang lain menyematkan tanda gudeg sebagai makanan istimewa.

Sekitar tahun 1950-an, Yogyakarta mulai dihadiri banyak kampus seperti UGM dengan mahasiswa dari luar Yogyakarta. Peracik gudeg mulai merespons banyaknya orang dari luar Yogyakarta yang mulai membawa gudeg sebagai oleh-oleh dengan gudeg dengan tekstur lebih kering dan areh yang lebih kental. Tujuannya agar bisa bertahan lama dan tetap lezat saat disantap. Cita rasanya tetap sama karena menggunakan alat produksi dan bahan bakar tradisional. 

“Kami tetap pakai kayu bakar untuk memasak, meski tawaran memakai kompor gas juga ada. Lebih praktis. Kalau dengan kayu, selain lebih hemat, kendali api sepenuhnya ada di kami,” jelas Haryani.

Lokasi penjualan gudeg pertama di Yogyakarta ada di seputaran Jalan Wijilan, tidak jauh dari Keraton Yogyakarta.

Baca Juga: Sisik Melik Makna di Balik Toponimi 'Jalan Malioboro' di Yogyakarta

Nasi gudeg ayam suwir 'Yu Djum'. (Gudeg Yu Djum Pusat)

Seiring dengan dinamika kota, banyak nilai tanda yang kemudian disematkan pada gudeg. Nilai tanda tersebut di antaranya ikon nostalgia, oleh-oleh, dan kenangan personal lainnya.

Gudeg menjadi simbol perubahan kota yang menyesuaikan tanpa meninggalkan bentuk aslinya sesuai kebutuhan dan keberagaman peminatnya. Gudeg basah tetap masih banyak dijumpai di setiap ruas jalan dan pasar tradisional. Akan tetapi, di saat yang bersamaan ada gudeg kering dalam kendil dan gudeg kaleng yang bisa dinikmati orang luar daerah dan luar negeri.

Ragam kemasan gudeg Yu Djum. Mbok Wo, sapaan akrab Yu Djum, mulai berjualan ketika berusia 17 tahun, meneruskan usaha sang ayah. Keuletan inilah yang menjadi dasar karakter warga Yogyakarta yang dahulu banyak bekerja di sektor agraris dan niaga. (Gudeg Yu Djum Pusat)

Beberapa orang yang saya temui melihat gudeg sebagai kendaraan untuk ingatan masa kanak-kanak dan keluarga. Sebagian lagi mengingatnya sebagai menu sarapan sebelum berangkat kuliah. Sementara saya dan beberapa orang lain menyematkan tanda gudeg sebagai makanan istimewa.

Ibu saya selalu membelikan gudeg bagi anggota keluarga yang sakit sebagai menu sarapan sebelum minum obat. Atau, ibu membelikannya untuk bekal saya ketika hendak memulai perjalanan jauh.

Katanya, agar saya ingat pulang.

—Artikel ini pernah terbit dengan judul Gudeg dan Rekaman Perubahan Kota pada 27 Juli 2016.