Filosofi Gudeg: Simbol Rindu dan Rekaman Perubahan Kota Yogyakarta

By National Geographic Indonesia, Rabu, 14 April 2021 | 17:00 WIB
Pulo Kenanga dalam kompleks Tamansari, Keraton Yogyakarta, sebelum gempa bumi besar pada 1867. (Geschiedenis van Nederlands Indie)

“Gudeg itu cara masak kok mbak, bumbunya pun sederhana, kami membuat gudeg nangka dengan banyak air, gula jawa, dan garam. Tidak neko-neko,” jelas Haryani sambil tersenyum.

Menjelaskan gudeg sebenarnya seperti kita menjelaskan  batik atau ikat. Gudeg adalah sebuah teknik memasak dengan proses yang lama dan penggunaan gula jawa dan garam sebagai pengawet alami. Bahan makanan yang paling sering dimasak dengan teknik ini adalah nangka muda (Artocarpus heterophyllusatau) yang sering disebut gori atau tewel dalam bahasa Jawa. Selain nangka muda, gudeg bisa menggunakan bahan seperti singkong, rebung/bambu muda, manggar/bunga kelapa, dan kluwih (Artocarpus camansi).

Sebagai teknik memasak, gudeg bisa dibuat oleh siapa saja. “Gudeg itu tanganan mbak,” jelasnya. Cita rasa gudeg sangat tergantung tangan peraciknya. Itulah mengapa, Yu Djum tidak khawatir membuka dapurnya untuk koki yang ingin belajar memasak gudeg. Beda tangan beda rasa. “Dari semua cabang gudeg Yu Djum juga begitu, rasa bisa berbeda, bisa jadi lebih enak. Saya selalu berkata jujur ke pelanggan, jangan sampai bohong soalnya rasa karena memang tidak bisa 100% sama,” jelas Haryani. Kejujuran dan sifat rendah hati ini yang membuat usaha keluarga ini bertahan meski banyak sekali ragam kuliner bermunculan di Yogyakarta.

Baca Juga: Sejak kapan Universitas Gadjah Mada berjulukan 'Kampus Biru'?

Lukisan karya Johannes Rach. (Perpustakaan Nasional Republik Indonesia)

Saya pun penasaran tentang bagaimana tangan peracik ini bisa menjelma seperti timbangan ukur untuk berpuluh-puluh panci masak ukuran besar. Frekuensi produksi yang reguler adalah jawaban dari pertanyaan saya. Peracik menjadi lihai karena kebiasaan memasak yang dilakoninya dari usia remaja. Pada usia tersebut, mulai ada tanggung jawab untuk bisa belajar memasak menu yang dimasak orang tua. 

“Takaran tangan jadi pas karena ilmu titen, jadi itu resepnya,” tuturnya sambil tersenyum.

Titen atau niteni artinya sebuah rangkaian aktivitas mencari kejelasan dari suatu kegiatan melalui pengamatan secara jeli dan mendalam. Peracik melihat, mengamati, menghafal dan menandai proses memasak baik yang dia lakukan saat ini maupun orangtuanya dahulu. Contohnya lama waktu yang dibutuhkan untuk membuat gudeg. “Ya sebenarnya bisa kurang dari 2 jam, tapi ya belum enak,” tutur Haryani. Setelah 2 jam, getah buah nangka muda baru akan benar-benar hilang dan rasa legit gurih muncul dari gula jawa dan garam. Ritme pelan kota Yogyakarta yang tecermin dari menu tradisi dengan proses memasak yang lama. Serba tidak buru-buru.

Soal bahan baku, peracik gudeg Yu Djum punya cerita tersendiri. Nangka muda diperoleh dari perkebunan di Prembun Kebumen. Tekstur dagingnya dirasa paling pas dengan teknik memasak gudeg jogja dengan cita rasa manis. “Dulu sempat langka nangka muda Prembun, kami terpaksa olah nangka dari luar Jawa. Tapi tidak kami lanjutkan karena hasilnya lembek,” jelas Haryani.