Sepotong Rendang, Sekerat Cerita Abadi di Kedai Makan Padang

By National Geographic Indonesia, Selasa, 13 April 2021 | 12:32 WIB
Seorang ibu warga kampung Koto Padang Ranah membawa jamba atau makanan dengan dijunjung di atas kepala. (Feri Latief)

Buk Beti tidak bekerja sendiri di dapur. Ada tiga perempuan lain yang membantu pekerjaannya. Meja-meja tempat bumbu masakan ditaruh di tengah dapur. Di sudut lain ada tungku dengan perapian dari kayu. Di atasnya kancah, kuali besar, sudah diisi dengan minyak.

“Itu rempah-rempah untuk bumbu rendang.” Ibu Beti menyentak saya yang sedang berdiri menatap piring-piring yang berisi bermacam biji-biji kecil di dalamnya. Ada buah pala, bunga lawang, bawang, kulit manis, dan rempah-rempah lainnya. Rempah-rempah inilah yang membedakan rendang dengan masakan lainnya. Tidak hanya karena rasanya yang khas, tapi juga ragam bumbunya menyehatkan. Ini sebabnya rendang ramah di lidah semua orang.

Di dapur, Buk Beti memasukkan begitu saja bumbu-bumbu itu ke dalam kancah. “Tidak ditakar terlebih dahulu, Buk?” Saya bertanya kepadanya. “Memasak itu tentang perasaan bukan perkara takaran.” Ibu Beti menjawab dengan pengaduk di tangannya mengacau bumbu-bumbu yang baru saja ia masukkan. Pantas saja tak banyak laki-laki yang bisa memasak. Seorang perempuan lain di dapur itu mendekat ke tungku, ia melihat besar api di tengah tungku.

Selain bumbu, juga teknik memasak yang dibalut dengan ‘perasaan’ itu, besar kecilnya api memang sangat mempengaruhi rendang yang sedang dimasak. Kekhasan rasa rendang juga berasal dari aroma kayu bakar yang berasal dari batang kayu manis. Rasa inilah yang tidak ditemui ketika ibu-ibu masa kini memasak rendang di atas kompor yang apinya berasal dari pembakaran minyak tanah ataupun gas. Terakhir, ia memasukkan potongan daging sapi ke dalam kuali. Hingga selesai nanti, rendang ini masih terus diaduk, dan tungku tak boleh ditinggalkan.

Baca Juga: Kapur Barus, Cerita Rempah dari Kedatuan Sriwijaya Kian Pupus

Bangunan dengan bentuk atap menyerupai tanduk kerbau yang disebut atap bagonjong di Kota Gadang, Sumatra Barat. (Feri Latief)

Randang, sebutan rendang dalam bahasa Minang, sebenarnya bukan nama sebuah makanan. Namun lebih kepada proses pembuatannya. Santan dan bumbu rempah dimasukkan terlebih dahulu ke dalam kuali. Tak lupa ditambahkan daun salam dan daun limau. Kemudian diaduk hingga bumbu-bumbu itu lesap satu sama lain.

Setelah dirasa cukup, daging-daging dimasukkan. Lalu, proses mengacau dilanjutkan hingga santannya mengering dan potongan daging berubah hitam. Inilah proses marandang. Dan daging-daging itu bisa berasal daging sapi, kambing, kerbau, bahkan bisa diganti dengan telur dan lokan sekalipun. Oleh Orkes Kumbang Tjari di awal tahun 60-an, proses marandang ini digambarkan dengan puitis dalam lagunya yang berjudul Randang Darek. ‘Bagaluak-galuak karambia jo kukuran. Manyalo dagiang jo batu lado. Bacakak daun kunyik, garam, jo santan. Bagalimang jadi samba pusako.’