Nationalgeographic.co.id—Suatu ketika, setelah sekian lama tak bertemu, Achmad Soebardjo kaget karena rumahnya kedatangan Tan Malaka. Mereka bertemu terakhir kali di Leiden, tahun 1930-an.
Indonesia baru merdeka saat itu, ketika Soebardjo bertemu kembali dengan Tan Malaka. Tan mengungkapkan keinginan untuk bertemu pemimpin negara. "Soebardjo merasa agak aneh dan sedikit khawatir, karena Soebardjo ada kekhawatiran Tan Malaka memengaruhi pemimpin-pemipin negara saat itu,' tutur Yeni Mada, peneliti dan pengagum Tan Malaka, kepada National Geographic Indonesia pada Rabu, 14 April 2021.
Singkat cerita, Achmad Soebardjo mempersilakan Tan Malaka menginap di paviliun rumahnya yang ada di Cikini Raya di Jakarta Pusat. Rumah induk beserta paviliun ini telah Soebardjo huni sejak zaman Hindia Belanda. Paviliun ini pernah menjadi kantor Kementerian Luar Negeri, tempat kerja Soebardjo.
Baca Juga: Rumah Achmad Soebardjo, Penyusun Naskah Teks Proklamasi, Kini Dijual
"Permintaan Tan Malaka dikabulkan oleh Subardjo, setelah syarat terpenuhi, yakni Tan Malaka menceritakan kisahnya selama dalam pengasingan," ujar Yeni yang menuturkan apa yang tertulis dalam buku berjudul Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia 1 itu. Buku itu merupakan karya Harry A. Poeze.
Poeze merupakan peneliti KITLV sekaligus penulis buku biografi Tan Malaka. Bahkan, yang ia tulis adalah buku biografi terbesar terkait Tan Malaka.
Dengan difasilitasi oleh Achmad Soebardjo, Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno, akhirnya menemui Tan Malaka di rumah tersebut. "Dalam pertemuan itu Bung Karno mengaku banyak belajar dari bukunya Tan Malaka yang berjudul Aksi Massa," kata Yeni.
Dalam pertemuan tersebut Bung Karno meminta pendapat Tan Malaka perihal strategi perjuangan mempertahankan kedaulatan bangsa. Tak disangka, ungkap Yeni, Tan Malaka memiliki syarat terkait surat sebagai tanda perkenalannya dengan Bung Karno.
"Tak lama kemudian, testamen politik itu hadir. Isi testamennya bahwa kekuasaan akan diberikan kepada Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Iwa Kusumasumantri, serta Wongsonegoro, jika Soekarno-Hatta ditangkap," tutur Yeni. Dia menambahkan, "Di rumah Subardjo ini pula Tan Malaka jatuh cinta kepada keponakan Achmad Soebardjo, Jo yang pintar main piano."
Baca Juga: Bung Karno dan Sate Sebagai Penyambung Lidah Rakyat Asia-Afrika
Bambang Eryudhawan, anggota Tim Ahli Cagar Budaya DKI Jakarta sekaligus kurator dari Yayasan Bung Karno, juga membenarkan bahwa rumah Achmad Soebardjo memang pernah jadi tempat pertemuan bersejarah antara Soekarno dan Tan Malaka. "Kemudian dilanjutkan lagi pada waktu-waktu berikutnya di rumah Dokter Soeharto di Jalan Kramat dan itu menghasilkan Testamen Politik," kata Yudha, sapaan Eryudhawan.
Pertemuan itu terjadi tak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Harry A Poeze menulis pertemuan tersebut terjadi pada 9 September 1945.
"Karena waktu proklamasi bahkan Tan Malaka juga nggak terinfokan ada proklamasi. Jadi Pak Bardjo yang mengakomodasi pertemuan itu di rumahnya di Cikini. Dan itulah pertemuan Bung Karno dan Tan Malaka yang pertama secara face to face," ujar Yudha mengisahkan kembali sejarah yang ditulis Poeze tersebut.
Baca Juga: Tahukah Kita Bung Karno Pernah Menolak Bantuan Dana dan Tarik Keanggotaan Indonesia dari IMF
Sebelumnya, Bung Karno bersama Bung Hatta juga pernah bertemu Tan Malaka di Bayah, Banten. Kala itu Tan Malaka jadi pekerja romusha, kerja paksa khas Jepang, di sana. Bung Karno dan Bung Hatta bertemu Tan di Bayah, tapi saat itu Tan menyamar sebagai pria bernama Ilyas, tidak mengaku sebagai Tan Malaka.
Sewaktu bersekolah di Belanda, Bung Hatta sebenarnya juga pernah bertemu dengan Tan Malaka. "Tapi itu kan 20 tahun yang lalu, jadi dia sudah lupa wajah Tan Malaka," ujar Yudha.
Maka baru di rumah Achmad Soebardjo-lah Soekarno dan Tan Malaka bisa benar-benar bertemu dan berbicara secara terbuka dengan mengakui identitas diri masing-masing. Dari perbincangan di rumah Achmad Soebardjo itulah kemudian lahir Testamen Politik dari Bung Karno.
Isi testamen politik itu adalah kekuasaan Republik Inodnesia akan dilimpahkan kepada Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Iwa Kusumasumantri, serta Wongsonegoro, jika Soekarno-Hatta ditangkap oleh sekutu. Namun ternyata Soekarno dan Hatta tak ditangkap sehingga Tan Malaka tak pernah sempat memimpin negeri ini.
Baca Juga: Pengalaman Bung Karno Nonton Film Kelas Kambing Sampai Film Gedongan
Rumah Achmad Soebardjo yang menyimpan banyak peristiwa bersejarah itu kini sedang dijual pihak keluarga. Rumah bergaya Hindia yang berlokasi di Jalan Cikini Raya No.80, Jakarta Pusat, itu dijual melalui iklan di akun Instagram Kristo House (@kristohouse), sebuah kantor agen properti di Jakarta.
Yudha menegaskan pentingnya bagi pemerintah pusat Indonesia untuk menjaga dan melestarikan rumah bersejarah milik pahlawan nasional tersebut. Sebab, sosok Achmad Soebardjo yang telah wafat pada 1978 lalu itu merupakan tokoh penting dalam sejarah kemerdekaan bangsa ini.
"Jadi Soebardjo memainkan peran penting dari penjemputan Soekarno dan Hatta di Rengasdengklok sampai kemudian mendapatkan rumah Maeda sebagai tempat penyusunan naskah proklamasi," tutur Yudha. Soebardjo juga merupakan tokoh yang turut menyusun naskah teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia bersama Soekarno dan Hatta.
"Ada tiga orang tokoh utama yang menjadi aktor utama dari proses proklamasi itu, salah satunya Achmad Soebardjo. Jadi dari sisi sejarah Indonesia rumah itu adalah salah satu jejak penting dalam narasi kemerdekaan indonesia," kata Yudha.
Baca Juga: Satu Tahun GRID STORE: Tersedia Layanan Pelanggan Majalah-el Berdiskon