Nationalgeographic.co.id—“Lahir di Solo [Surakarta] tetapi berkembangnya di Mataram,” ungkap Trisno Santoso yang akrab disapa dengan nama panggungnya, Pelok. Lelaki berusia 55 tahun itu merupakan Dosen Institut Seni Indonesia Surakarta, Fakultas Seni Pertunjukan, Jurusan Seni Pedhalangan. Hampir setiap bulan dia didaulat untuk pentas di paguyuban teater dan ketoprak yang dikelola para seniman muda.
Perjalanan ketoprak sangatlah panjang dan terseok. Meskipun lahir di Surakarta pada awal abad ke-20 lewat ketoprak lesung, akhirnya ketoprak meninggalkan kota itu menuju Yogyakarta. Tampaknya, saat itu wayang orang jauh lebih berkembang ketimbang ketoprak. Lantaran masyarakat kota lebih mengapresiasi wayang orang, ketoprak hidup di pinggiran.
“Ketoprak itu kesenian orang bawah,” ujar Pelok yang mencoba melukiskan pandangan orang tentang ketoprak pada awal abad ke-20. “Tetapi, wayang orang itu kesenian orang berada.”
Baca Juga: Senandung Sendu Seniman Ketoprak Ketika Terseret Pusaran Geger 1965
Barbara Hatley, seorang Profesor Emeritus dari University of Tasmania Australia, pernah menulis tentang perkembangan ketoprak dalam Javanese Performances on An Indonesian Stage. Pada 1925, menurut Hatley, rombongan ketoprak Krida Madya Utama asal Surakarta melawat ke Klaten dan Prambanan. Lalu, berpentas di Dusun Demangan, Yogyakarta.
Selama beberapa minggu kemudian banyak rombongan ketoprak bermunculan dan mendapatkan sambutan yang meriah di pinggiran Kasultanan Yogyakarta. Ketoprak akhirnya mulai dipentaskan di kediaman para keluarga Sultan.