Sebelumnya pada Agustus lalu, Kabinet Thailand menyetujui proposal amendemen Undang-Undang Narkotika untuk mengizinkan para praktisi medis swasta, termasuk praktisi penyembuhan tradisional, dan petani untuk menanam ganja untuk pengobatan medis. Perkembangan ini menyusul legalisasi terkontrol ganja pada 2018 lalu, yang menjadikan Thailand negara pertama di Asia Tenggara yang mengizinkan badan-badan negara atau para pencari izin untuk menanam ganja sesuai dengan regulasi badan pemerintahan.
Berbeda dengan Thailand dan Australia, pemerintah Indonesia masih menetapkan ganja sebagai bahan narkotika yang tidak bisa dipakai untuk keperluan medis. Hal itu diatur dalam Undang-Undang 35 Tahun 2009.
Kasus Fidelis Ari Sudarwoto, seorang pegawai negeri sipil di Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat, adalah contoh terlarangnnya penanaman dan penggunaan ganja di Indonesia meski untuk keperluan medis. Fidelis dipenjara sejak 19 Februari hingga 16 November 2017 akibat menanam ganja di rumahnya untuk ia berikan kepada istrinya, Yeni Riawati, yang menderita Syringomyelia, penyakit langka yang menyerang sumsum tulang belakang dan menimbulkan rasa sakit tak terkira.
Sejak diberikan ganja oleh Fidelis, Yeni merasakan sakit yang deritanya berkurang dan perkembangan kondisi fisiknya makin membaik. Akan tetapi semenjak Fidelis ditahan oleh pihak kepolisian dan Yeni tak lagi diberi ganja sebagai pereda sakitnya. Akibatnya, kondisi Yeni jadi kian memburuk dan akhirnya meninggal. Kasus ini pun akhirnya menjadi perhatian publik nasional dan memicu pro-kontra terkait status ganja yang mutlak ilegal di Indonesia.
Baca Juga: Satu Tahun GRID STORE: Tersedia Layanan Pelanggan Majalah-el Berdiskon