Ternyata, Aktivitas Pekerjaan Pengaruhi Daya Tahan Leher Kita

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 21 April 2021 | 16:00 WIB
Ilustrasi sakit leher. (Jcomp/freepik)

Nationalgeographic.co.id—Postur badan ketika bekerja kerap dituduh sebagai biang kerok sakit leher. Nyatanya, berdasarkan hasil penelitian terbaru, ada banyak faktor lainnya yang mempengaruhi sakit leher, seperti indeks massa tubuh, usia, dan waktu kita melakukan pekerjaan.

Kegiatan itu biasanya berupa pekerjaan yang minim aktivitas fisik seperti duduk membungkuk menghadap layar komputer, atau berjam-jam di depan ponsel. Imbasnya pun bisa meningkatkan risiko cedera dalam dunia kerja.

Hal itu diungkapkan oleh para peneliti dari Department of Industrial and Systems Engineering Texas A&M Universitas lewat laporan yang dipublikasikan di Human Factors JournalsMereka melakukan bereksperimen pada 20 pria dan 20 wanita.

Baca Juga: Perkembangan Otak Anak yang Pernah Dipukul Mirip Otak Korban Pelecehan

40 Responden itu tak memiliki riwayat sakit leher, kemudian diajak ke laboratorium untuk diamati, dan diminta untuk menahan leher di postur tertentu dalam beberapa waktu. Para peneliti pun mencatat usia, indeks massa tubuh, dan jam eksperimen yang dilakukan pada mereka.

Sebagian dari responden itu diamati di pagi hari dan sisanya di sore hari. Sebab mereka memiliki waktu bekerja yang berbeda di siang dan malam hari.

Postur itu sesuai dengan apa yang mungkin terjadi di tempat kerja. Responden penelitian itu juga diinstruksikan untuk mengerahkan tenaga di sekitar kepala-leher secara terus menerus sampai merasa lelah.

Instruksi lainnya, mereka harus duduk dan diminta untuk mengenakan helm yang membuatnya harus mengerahkan kekuatan lebih di leher.

Dengan posisi itu, para peneliti meminta mereka untuk menjaga leher untuk tetap di beberapa kondisi, lurus, miring ke depan, atau miring ke belakang dalam waktu tertentu.

Baca Juga: Kita Membutuhkan Statistik Demi Kesetaraan Lapangan Kerja Bagi Difabel

Dalam posisi ini, kepala dan leher mereka diberikan gaya (f) lewat bingkai yang dapat disesuaikan. Lewat pemberian gaya ini, mereka bisa mencapai setengah dari kapasitas kemampuan maksimum saat merasa pegal.

Hasil lainnya, lama dan sebentarnya waktu juga memengaruhi kemampuan leher mereka untuk mempertahankan diri dalam aktivitas tanpa kelelahan.

"Sangat intuitif untuk berpikir bahwa sepanjang hari, leher kita menjadi lebih lelah karena kita lebih sering menggunakannya," papar Zhang.

Ia menambahkan, bahwa aktivitas pekerjaan mereka di luar eksperimen lebih berpengaruh pada pembentukan kekuatan dan daya tahan leher dairpada faktor pribadi mereka.

Oleh karena itu, faktor aktivitas pekerjaan perlu dimodifikasi, tulis para peneliti. Sebab faktor ini lebih penting dalam memenuhi kebutuhan fisik ketika melakukan pekerjaan.

Sakit leher karena aktivitas pekerjaan merupakan hal yang tak bisa diangap remeh. Sakit ini menjadi penyebab kecacatan paling populer dan banyak terjadi di dunia, papar Zhang.

Hal itu juga senada dengan indeks yang dibuat oleh Institute for Health Metrics and Evaluation dalam Global Burden of Disease Study. Indeks itu menyebut  sakit leher berada di peringkat keempat penyebab utama kecacatan global.

Baca Juga: Air Zamzam Telah Digunakan 4.000 Tahun Lebih Tapi Kenapa Tidak Habis?

Hasil eksperimen itu kemudian dijadikan database untuk menjadi referensi para ilmuwan untuk membangun model biomekanik musuloskeletal leher canggih. Kekuatan dan daya tahan leher ini, menurut para peneliti, untuk kebutuhan medis memisahkan otot leher tertentu yang rentan pada cedera.

“Selain itu, teknisi dan desainer dapat memanfaatkan data kami untuk membuat perangkat yang dapat dikenakan, seperti helm, yang lebih ergonomis dan tidak terlalu menimbulkan tegangan di leher," terang Zhang.

Pada nantinya, Zhang menambahkan, timnya bisa mendapatkan data untuk mengevaluasi kondisi pasien cedera leher yang sudah dinyatakan siap bekerja kembali. Dengan demikian, risiko terkena cedera tidak terulang kembali jika berada dalam batas normal.

"Temuan studi dapat membantu dalam desain kerja serta skrining pra-kerja untuk mengurangi insiden nyeri leher di tempat kerja," tulis para peneliti dalam laporan.