Kisah Perempuan: Menelisik Ketangguhan Perempuan Aceh di Masa Lalu

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 22 April 2021 | 10:23 WIB
Perempuan Aceh yang dipotret sekitar 1901. (C.B Nieuwenhuis/KITLV 82872)

Contoh lainnya juga dimiliki oleh Pocut Meurah Intan yang begitu berang tahu suaminya bertekuk lutut di bawah ketiak pemerintah Kolonial dan memilih mengajak anak-anak dan kaumnya membelot.

Bahkan jauh sebelum babak kolonial mencekram Nusantara, Laksamana Malahayati pun memimpin armada perang. Dalam buku Perempuan Keumala karya Endang Moedopo, Malahayati dengan beraninya berhadapan Cornelis de Houtman di atas kapal pada 1599. Ia pun berhasil membunuhnya.

Menurut Cut Rizka Al Usrah dalam skripsinya, ketangguhan Malahayati dikenal dalam literatur Barat sebagai laksamana wanita pertama di dunia modern.

Para penulis Barat menyebutnya sebagai The Guardian of Acheh Kingdom dan masuk dalam jajaran 7 Warlord Women in The World, dan Best Female Warrior at All Time.

Bahkan di negeri Serambi Mekkah itu juga memiliki Sultanah (Sultan perempuan) yang tak dimiliki kesultanan-kesultanan lainnya di Nusantara. Mereka secara berangsur-angsur memimpin 4 generasi sejak 1641 hingga 1699. Mereka adalah Safiatuddin Syah, Nurul Alam Naqiatuddin, Inayat Zaqiatuddin, dan Kamalat Syah Zinatuddin.

Baca Juga: Laksamana Malahayati, Pahlawan Perempuan Penumpas Cornelis de Houtman

 

Usman husein & Hasbi Amruddin dalam buku Aceh Serambi Mekkah (2008) menulis, di bawah kuasa Safiatuddin, Aceh mempertahankan diplomasi kerajaan-kerajaan lain seperti Portugis, Perancis, Inggris, dan Belanda, sehingga nama besar Aceh tetap terjaga.

Safiatuddin juga membuat Aceh pesat di segala bidang, termasuk ekonomi, agama, hukum, seni-budaya, hingga ilmu pengetahuan.

Meski Kesultanan Aceh adalah kerajaan pertama yang bernafaskan Islam, sepertinya paham mengenai posisi perempuan setara dengan laki-laki berasal dari kebudayaan asli masyarakat di sana.