Nationalgeographic.co.id—Awal abad ke-20, Henri Carel Zentgraaf tertegun kalau perempuan Aceh memiliki karakteristik yang tangguh. Lewat bukunya yang berjudul Atjeh, dia terkesima ketika pihak militer Hindia Belanda menginvasi Aceh, kalangan perempuan begitu membara melakukan perlawanan.
Ia menulis, bahwa hampir semua perempuan Aceh mati-matian membela diri dari jeratan kuasa Hindia Belanda ketika suaminya dibunuh di depan mata. Tak hanya warga sipil, ketangguhan itu juga dimiliki kelas bangsawan Aceh.
Kita bisa melihat bagaimana ketangguhan Cut Nyak Dhien berjuang dan memimpin masyarakatnya ketika suaminya, Teuku Umar, tewas di tangan Belanda.
Baca Juga: Pocut Meurah Intan, Perempuan Tangguh Aceh yang Diasingkan ke Blora
Contoh lainnya juga dimiliki oleh Pocut Meurah Intan yang begitu berang tahu suaminya bertekuk lutut di bawah ketiak pemerintah Kolonial dan memilih mengajak anak-anak dan kaumnya membelot.
Bahkan jauh sebelum babak kolonial mencekram Nusantara, Laksamana Malahayati pun memimpin armada perang. Dalam buku Perempuan Keumala karya Endang Moedopo, Malahayati dengan beraninya berhadapan Cornelis de Houtman di atas kapal pada 1599. Ia pun berhasil membunuhnya.
Menurut Cut Rizka Al Usrah dalam skripsinya, ketangguhan Malahayati dikenal dalam literatur Barat sebagai laksamana wanita pertama di dunia modern.
Para penulis Barat menyebutnya sebagai The Guardian of Acheh Kingdom dan masuk dalam jajaran 7 Warlord Women in The World, dan Best Female Warrior at All Time.
Bahkan di negeri Serambi Mekkah itu juga memiliki Sultanah (Sultan perempuan) yang tak dimiliki kesultanan-kesultanan lainnya di Nusantara. Mereka secara berangsur-angsur memimpin 4 generasi sejak 1641 hingga 1699. Mereka adalah Safiatuddin Syah, Nurul Alam Naqiatuddin, Inayat Zaqiatuddin, dan Kamalat Syah Zinatuddin.
Baca Juga: Laksamana Malahayati, Pahlawan Perempuan Penumpas Cornelis de Houtman
Usman husein & Hasbi Amruddin dalam buku Aceh Serambi Mekkah (2008) menulis, di bawah kuasa Safiatuddin, Aceh mempertahankan diplomasi kerajaan-kerajaan lain seperti Portugis, Perancis, Inggris, dan Belanda, sehingga nama besar Aceh tetap terjaga.
Safiatuddin juga membuat Aceh pesat di segala bidang, termasuk ekonomi, agama, hukum, seni-budaya, hingga ilmu pengetahuan.
Meski Kesultanan Aceh adalah kerajaan pertama yang bernafaskan Islam, sepertinya paham mengenai posisi perempuan setara dengan laki-laki berasal dari kebudayaan asli masyarakat di sana.
Profesor tamu Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Peter Carey, ketika tahun lalu diwawancarai, menyebutnya sebagai perspektif masyarakat Polinesia. Perspektif ini mengedepankan konsep matrilineal yang umum digunakan oleh masyarakat Nusantara pra-kolonial.
Budaya matrilineal ini juga ditemukan pada pola masyarakat Champa di Vietnam, khususnya di masa lalu. Dalam buku Champa: Kerajaan Kuno di Vietnam (Ibrahmi & Putranto, 2016) mengungkapkan pola masyarakat dan kerajaan Champa di masa lalu memiliki keidentikan dengan Kesultanan Aceh.
Baca Juga: Peter Carey Ungkap Kedudukan Perempuan di Era Kesultanan di Nusantara
Budaya matrilineal ini rupanya tak dimiliki oleh masyarakat Aceh secara keseluruhan. Menurut Tashya Holilah dalam skripsinya, konsep itu hanya dimiliki Suku Aneuk Jamee. Suku Aneuk Jamee sendiri adalah suku di Aceh yang mengalami perpaduan matrilineal dari Minangkabau.
Perspektif peran gender yang setara di Aceh ini pun diungkap oleh Desi Purnama Sari dari Universitas Islam Negeri Sumatera lewat tesisnya.
Ia menjelaskan, meski sebenarnya masih ada perdebatan di kalangan ulama, tapi nyatanya sebagian otoritas keagamaan memandang perempuan memiliki kedudukan setara untuk berkecimpung di ranah politik. Pandangan ini pun masih bertahan hingga kini.
Senada dengan Desi, Syarifah Rahmah dalam International Journal of Child and Gender Studies (Vol. 5 No.1 tahun 2019), perempuan memiliki porsi pendidikan, dan memiliki kajian gender secara teologi. Hal itu dibuktikan lewat masjid yang menjadi pusat pendidikan yang kuat bagi masyarakat Aceh.
Berdasarkan tinjauannya juga, masyarakat Aceh mengamini peran perempuan dalam kancah yang umumnya dimiliki laki-laki—yang dipahami masyarakat patriarki kini.
Selain tinjauan agama, secara historis, beberapa tokoh perempuan Islam era Nabi Muhammad juga menjadi patokan paham kesetaraan gender, seperti Hindun bint Yazid al-Anshariyah.
Sayangnya, menurut Rahmah, anggapan kesetaraan ini sedikit memudar akibat munculnya dogma keagamaan untuk pengekakang perempuan.
"Isu-isu 'tidka cerdas' sangat santer digulirkan ke tengah-tengah masyarkat luas, bahwa perempuan tidak layak menjadi pemimpin, dan rentan terhadp terjadinya kekerasan seksual dan perkosaan," tulisnya, menanggapi permasalahan keseteraan gender di Aceh kini.