Kisah Perempuan: Menelisik Ketangguhan Perempuan Aceh di Masa Lalu

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 22 April 2021 | 10:23 WIB
Perempuan Aceh yang dipotret sekitar 1901. (C.B Nieuwenhuis/KITLV 82872)

Profesor tamu Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Peter Carey, ketika tahun lalu diwawancarai, menyebutnya sebagai perspektif masyarakat Polinesia. Perspektif ini mengedepankan konsep matrilineal yang umum digunakan oleh masyarakat Nusantara pra-kolonial.

Budaya matrilineal ini juga ditemukan pada pola masyarakat Champa di Vietnam, khususnya di masa lalu. Dalam buku Champa: Kerajaan Kuno di Vietnam (Ibrahmi & Putranto, 2016) mengungkapkan pola masyarakat dan kerajaan Champa di masa lalu memiliki keidentikan dengan Kesultanan Aceh.

Baca Juga: Peter Carey Ungkap Kedudukan Perempuan di Era Kesultanan di Nusantara

 

Budaya matrilineal ini rupanya tak dimiliki oleh masyarakat Aceh secara keseluruhan. Menurut Tashya Holilah dalam skripsinya, konsep itu hanya dimiliki Suku Aneuk Jamee. Suku Aneuk Jamee sendiri adalah suku di Aceh yang mengalami perpaduan matrilineal dari Minangkabau.

Perspektif peran gender yang setara di Aceh ini pun diungkap oleh Desi Purnama Sari dari Universitas Islam Negeri Sumatera lewat tesisnya

Ia menjelaskan, meski sebenarnya masih ada perdebatan di kalangan ulama, tapi nyatanya sebagian otoritas keagamaan memandang perempuan memiliki kedudukan setara untuk berkecimpung di ranah politik. Pandangan ini pun masih bertahan hingga kini.

Senada dengan Desi, Syarifah Rahmah dalam International Journal of Child and Gender Studies (Vol. 5 No.1 tahun 2019), perempuan memiliki porsi pendidikan, dan memiliki kajian gender secara teologi. Hal itu dibuktikan lewat masjid yang menjadi pusat pendidikan yang kuat bagi masyarakat Aceh.

Berdasarkan tinjauannya juga, masyarakat Aceh mengamini peran perempuan dalam kancah yang umumnya dimiliki laki-laki—yang dipahami masyarakat patriarki kini.

Selain tinjauan agama, secara historis, beberapa tokoh perempuan Islam era Nabi Muhammad juga menjadi patokan paham kesetaraan gender, seperti Hindun bint Yazid al-Anshariyah.

Sayangnya, menurut Rahmah, anggapan kesetaraan ini sedikit memudar akibat munculnya dogma keagamaan untuk pengekakang perempuan.

"Isu-isu 'tidka cerdas' sangat santer digulirkan ke tengah-tengah masyarkat luas, bahwa perempuan tidak layak menjadi pemimpin, dan rentan terhadp terjadinya kekerasan seksual dan perkosaan," tulisnya, menanggapi permasalahan keseteraan gender di Aceh kini.