Tari Bedhaya, Jejak Perlawanan Mangkunegara I dalam Geger Pacinan

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Senin, 26 April 2021 | 11:00 WIB
Tari Bedoyo yang diadakan di Puro Mangkunegaran untuk pesta pernikahan Hoesein Djajadiningrat dan Partini di Surakarta, Januari 1921 (Tropenmuseum)

"Perperangan yang dilakukan Raden Mas Said yang 16 tahun hidup di medan perang, adalah atas penghayatan beliau atas derita rakyat, keimanan pada Tuhan dan dituangkan untuk pengikutnya."

Pengilhaman Raden Mas Said tak terlepas dari situasi negeri sedang kacau akibat kepentingan luar dan dalam istana sendiri. Terlebih, perekonomian rakyat berada dalam keadaan kritis.

Pemahaman yang dimiliki Raden mas Said dimuat dalam catatan jurnalnya yang diperkirakan ditulis oleh para prajuritnya. Wishnu menjelaskan bahwa prajurit yang tak hanya memiliki kemampuan bertempur, tetapi juga menulis dan menjadi pegiat seni adalah perempuan.

Ia berasumsi, "Semua semua jalan perperangan beliau selalu mundhut, hari ini terjadi begini-begini, dituliskan begini. Kemudian dijadikan dagboek--catatan harian yang dicatat prajurit dari yang beliau alami."

Tiga Tari Bedhaya itu antara lain adalah Kasanapaten Anglirmendhung, Kasanapaten Diradameta, dan Kasanapaten Sukapratama. Tetapi yang paling dikenal adalah Kasanapaten Anglirmendhung yang diarikan tiga perempuan dengan properti berupa pistol, dan busana dodot bermotif kaligrafi.

Tarian ini disajikan pertama kali pada penobatan Raden Mas Said sebagai K.G.P.A.A. Mangkunegara I. Kemudian tarian ini dijadikan kelengkapan upacara resmi di Pura Mangkunegaran.

Baca Juga: Konsep Hindu-Buddha dalam Tata Ruang Kesultanan Islam di Jawa

Legiun Mangkunegaran—Korps militer pada masa Mangkunegara II yang menandai warisan Daendels di kota ini. Gayanya mengadopsi pasukan Grand Armee Napoleon Bonaparte. (Alfonsus Aditya )

Penggunaan kesenian budaya yang diterapkan Raden Mas Said merupakan bingkai alat pengajaran kepada masyarakat. 

"Apapun kontennya, mau itu edukasi, soal keagamaan, ketuhnan, whatever, selalu menggunakan bingkai sastra," jelas Wishnu. "Kalau penelusuran yang saya lakukan, [tujuannya] agar piantun-piantun itu mengklasifikasikan pemahaman audiens."

Melalui kesenian, isi makna yang diberikan cenderung diserahkan kepada khalayaknya dengan pemahaman masing-masing. 

Iwan menyebutkan, pemahaman lewat kesenian di masa itu lebih diterima di masyarakat untuk mengakses informasi dari kalangan atas.

"Kalau pada jaman sesudahnya, Perang Jawa, itu mereka hubungannya yang cair itu pas setelah Jumatan lewat forum interaksi dengan masyarakat. Itu cair sekali. Ada kegiatan keagamaan, ada pasar, tari Bedhaya. Itu adalah menggabungkan peran untuk ingatan kolektif soal beliau (Raden Mas Said)," tambah Iwan.

Iwan juga menambahkan, berkat peranan Raden Mas Said, ia memaksa kalangan kolonial agar membangun sekolah di Pulau Jawa. Tujuannya supaya masyarakatnya bisa mendapat akses pendidikan Eropa.

"Padahal orang Eropa itu enggan, tidak mau negeri jajahannya bisa belajar dari Barat supaya tidak setara," terang Iwan. "Ini yang dipikirkan Sambernyawa untuk entitas Puro Mangkunegoro dan rakyatnya.