Puisi Kuno Bantu Ilmuwan Prediksi Badai Matahari Dahsyat Berikutnya

By Utomo Priyambodo, Rabu, 28 April 2021 | 19:00 WIB
Pelepasan massa koronal (CME) akibat badai matahari. (Wikimedia Commons/NASA Goddard Space Flight Center)

Dalam Meigetsuki, penyair Jepang Fujiwara Sadaie menyebutkan dirinya melihat uap merah putih di langit malam pada tanggal 21 dan 23 Februari 1204. Kejadian ini ditafsirkan sebagai tanda badai magnet yang menghantam Bumi pada saat itu.

"Uap merah muncul di utara dan timur laut," tulisnya. "Itu seperti gunung yang terbakar di kejauhan. Itu sangat mengerikan."

Sementara itu, bintik matahari besar, tanda aktivitas magnetis yang intens di Matahari, juga terekam dalam periode yang sama di Song Shi.

"Kami menemukan sekitar 10 insiden aurora berkepanjangan selama periode ini," kata peneliti lainnya, sejarawan Hisashi Hayakawa.

"Ketika tanggal-tanggal ini dibandingkan dengan data radiokarbon dari cincin pohon, kami mencatat penurunan kadar karbon-14 (menunjukkan peningkatan tingkat aktivitas matahari) pada titik-titik yang sama ini."

Baca Juga: Obituari Umbu Landu Paranggi: Presiden Malioboro hingga Mahaguru Puisi

 

Teks-teks ini telah membantu para peneliti untuk menyusun kronologi aktivitas cuaca antariksa, dan juga mengungkapkan bahwa aurora lebih lazim dalam fase maksimal siklus matahari. Ini adalah fase ketika aktivitas matahari dan radiasi dalam jumlah terbesar terjadi.

Semua pengetahuan dari teks sastra kuno ini telah memberi para peneliti sedikit lebih baik kemungkinan untuk memprediksi badai magnet berikutnya. Uraian atas studi tersebut telah mereka terbitkan di jurnal Space Weather.

Sebagai penjelasan umum, badai matahari terjadi saat ledakan partikel dari Matahari menghantam oksigen dan nitrogen di atmosfer dan medan magnet bumi. Peristiwa matahari yang sangat parah, yang disebut pelepasan massa koronal (CME), dapat menyebabkan masalah besar di planet kita ini.

Badai matahari besar hari ini dapat melumpuhkan satelit, GPS, internet, dan sistem komunikasi lainnya. Sebagai contoh, badai terakhir yang sangat signifikan pada tahun 1859 memberikan kejutan listrik kepada operator telegraf dan menghasilkan awan malam hari yang bercahaya. Konsekuensi dari badai lain yang sebesar itu bisa jauh lebih parah untuk masa depan karena faktor teknologi-teknologi yang digunakan saat ini.

Baca Juga: 23 April, Hari Buku Sedunia dan Wafatnya Cervantes serta Shakespeare