Ong Kho Sioe: Rumah Candu dan Sejarah Becak Pertama di Yogyakarta

By Agni Malagina, Rabu, 28 April 2021 | 21:14 WIB
Ketandan merupakan pecinan tertua di Malioboro, Yogyakarta. Pecinan ini menyimpan banyak sejarah. Seperti salah satu rumah kuno di Ketandan yang difungsikan sebagai kios ini. Jangkar di dinding diduga sebagai lambang keagamaan. Namun, beberapa rumah yang memiliki bentuk jangkar besi sejatinya merupa (Dwi Oblo)

 

Sishe Eliyawati (Ong Si She) adalah cucu OKS yang menempati Rumah Kongsi, turut menuturkan kenangannya kepada National Geographic Indonesia. Sayangnya, tidak ada benda milik OKS yang tersisa. Pipa cangklong candu pun turut disimpan dalam kubur OKS. Yang tertinggal hanya sedikit kenangan panci masak candu, peralatan bengkel becak OKS, dan rumah yang mungkin bakal berpindah ke tangan orang lain. Apabila rumah kongsi berpindah tangan, barangkali rumah akan berganti bangunan baru. Barangkali juga tak pernah ada yang mengingat keberadaan rumah dan kisah OKS lagi.

“Rumah ini akan dijual atas kesepakatan keluarga papa dan adiknya. Sakjane yo eman (sebetulnya sayang), banyak kenangangan. Tapi ya ini kesepakatan. Ini statusnya HGB, kami ya ikut aturan saja,” ujar Sishe.

“Tak banyak yang tersisa dari rumah candu dan becak OKS. Ndak ada catatan bon, tagihan becak, buku kas. Bahkan kami cari di foto-foto engkong, seperti foto waktu engkong meninggal itu ya ndak ada tampak becak satu pun. Hanya tersisa ingatan saya dan kakak saya, juga alat bengkel yang namanya tanggem. Candu, yang tersisa hanya wajan bekas masak candu,” ujar Sishe.

Waktu kecil, Sishe biasa bermain di atas becak dan melihat kegiatan tukang becak yang memperbaiki becak, mengecat slebor, dan membuat atap kanvas dengan menggunakan tanggem untuk membengkokan rotan atap becak. Ia menyebut becak OKS dianggap sebagai pelopor slebor (lumbung) becak gambar pemandangan di Yogyakarta!

 

Baca Juga: Toko Djoen: Mencecapi Rasa Khas Roti Lawas di Ketandan Yogyakarta

Gerbang Kampoeng Ketandan menjadi menjadi ciri khas memasuki kawasan pecinan lama Yogyakarta. Warna-warna yang disematkan menggambarkan simbol akulturasi kebudayaan masyarakat Jawa - Cina di kota ini. (Dwi Oblo/National Geographic Indonesia)

Keberadaan becak-becak di Ketandan pun menjadi misteri. Hanya tersisa sedikit orang tua dan generasi muda Ketandan tentang ingatan rumah-rumah para pengusaha becak. Beberapa warga Ketandan masih mengingat keberadaan becak-becak yang lahir di pecinan ini. Salah satunya adalah generasi kedua becak OOP, yaitu Ong Muk Nang yang lahir pada 1940.

“OOP [dan] OKS sama-sama buka rumah kongsi untuk tempat tinggal orang-orang yang datang dari Cina. Lima kamar di sini. Di sini juga rumah candu, ya bengkel becak,”ujar Muk Nan. Dia memperlihatkan jari telunjuk tangan kanannya yang terputus satu buku akibat jeruji becak yang tengah berputar pada 1970-an. “Becak OOP dari Semarang datang 100, tapi ya tahun 70-an lebih sudah selesai. OKS itu besar (perusahaan) becaknya, ada 3 lagi. Lupa itu tahun berapa wong sudah lebih dari 40 tahun lalu.”

Di Ketandan terdapat lima perusahaan becak mulai dari OKS (Ong Kho Sioe), OOP (Ong O Poo), TIN (Tan In Nong), Istimewa dan yang terakhir adalah Kurnia. Ketandan pun menjadi misterius karena cerita becak-becaknya sedikit yang terungkap. Beberapa merek becak lainnya di Yogyakarta, yaitu Kalimantan, PUN, King Kong, Sinar Laut, Pasti Jaya, dan Caroko. Becak Caroko adalah perusahan becak pertama yang dimiliki oleh pengusaha beretnis Jawa pada 1968.

Ketandan, sepetak pecinan Yogyakarta yang kerap terlewat oleh para pelawat namun begitu memikat dengan cerita becak yang masih terawat.