Sihir Senja di Kepulauan Banda dan Kampung-kampung Nasionalisnya

By National Geographic Indonesia, Senin, 3 Mei 2021 | 20:30 WIB
Penduduk Negeri Salamun mandi di pantai dan bermain perahu saat matahari mulai menjelang ke peraduan. Di latar belakang, terlihat pulau Gunungapi Banda dan Pulau Naira. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

 

Cerita dan foto oleh Feri Latief

 

 

Nationalgeographic.co.id—Pengalaman saya menjadi relawan pengajar amat menyenangkan. Apalagi lokasinya di pedalaman yang jauh dari pusat pemerintahan negara atau kota. Banyak hal baru yang saya dapat dari sekadar menjadi wisatawan. Yang membuat sedikit perbedaan: relawan kerap melakukan kontak dengan masyarakat lokal. Dan itu yang saya alami di Kepulauan Banda, Maluku Tengah.

“Bang Feri dan Ongen sudah disiapkan kamarnya,” kata rekan saya Grice Testalu, yang juga sukarelawan pengajar asal kota Ambon.

Ongen adalah asisten saya selama mengajar beberapa hari ke depan. Ia juga berasal dari Ambon. Nama aslinya panjang, Theofrydo Boo M. Tuankotta. Ongen adalah nama panggilan yang umum bagi anak laki-laki di Ambon.

Kami berdua tinggal di rumah keluarga Ibu Herawati Sahupala di Pulau Banda Neira. Nama-nama kampung di pulau ini terkesan nasionalis. Contohnya, tempat saya tinggal bernama Kampung Dwi Warna. Kampung lain ada yang bernama Nusantara dan Merdeka.

 

Semua itu ada sebabnya: Beberapa tokoh-tokoh kemerdekaan Indonesia diasingkan pemerintah kolonial Belanda di pulau ini!

Salah seorang proklamator kita, Bung Hatta, pernah diasingkan di sini. Juga dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, Sutan Sjahrir dan Iwa Kusuma Sumantri. Rumah tempat mereka diasingkan sekarang menjadi bangunan bersejarah yang dilindungi. Tentu saja keberadaan mereka membawa semangat nasionalisme di kepulauan ini.

Kampung Nusantara menjadi favorit saya pada pagi hari. Bukan apa-apa, selain letaknya di tepi pantai di mana terdapat pelabuhan, juga berdampingan dengan pusat keramaian lain: Pasar! Segala macam hasil bumi kepulauan ini tersedia di sini, dari aneka macam rempah seperti pala, kayu manis, biji kenari sampai sayuran dan ikan-ikan segar.

Pasar ini merupakan tempat teramai di Banda Neira dibandingkan kampung lain yang relatif tenang dan sepi. Biasanya, saya nongkrong dan bergaul dengan warga lokal sambil minum kopi di warung yang terletak di salah satu sudut pasar.

 

Baca Juga: Ketika Setengah Kilogram Pala Banda Dibeli Seharga Tujuh Sapi Gemuk

Panorama sore di Negeri Salamun, Pulau Banda Besar. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

Sambil menyeruput kopi, berbagai cerita pun mengalir dari mulut warga pecandu kopi. Sampai saya mendengar salah seorang warga berkata, “Kapal putih masuk hari Jumat.” Berkali-kali kata-kata 'kapal putih' disebutkan. Saya tak mengerti maksud kata-kata itu, ingin hati bertanya tapi sungkan.

Sepulang dari warung kopi, anak pemilik rumah yang saya tempati, Bambang, menjelaskan arti kata-kata 'kapal putih.' Ternyata itu istilah warga setempat untuk menyebut kapal besar yang dioperasikan Pelni!

Disebut 'kapal putih' karena warnanya yang putih. Selama puluhan tahun melayani pelayaran dari dan ke Banda, sehingga panggilan akrab pun disematkan warga. Ada tiga kapal Pelni yang melayani jalur ke Banda, yaitu KM Ngapulu, KM Panggrango dan KM Leuseur. Semuanya disebut warga sebagai 'kapal putih.'

Sebutan ini untuk membedakan antara kapal milik Pelni dan kapal cepat yang dikelola perusahaan swasta. Saya bisa mengerti kenapa julukan itu disematkan, karena memang terlihat putih mencolok di tengah laut walau dari kejauhan. Apalagi karena ukurannya juga besar dibandingkan kapal-kapal cepat milik swasta.

 

“Kalau mau lihat kapal putih datang, lihatnya dari atas gunung api,” begitu cerita Bambang yang bernama asli Syaiful. Konon, dia dipanggil demikian, karena saat ia kecil seorang tetangga memanggilnya dengan nama Bambang, lalu keterusan sampai sekarang. Mirip betul seperti sebutan kapal putih tersebut!

Ceritanya saya timbang-timbang. Sampai mendengar kabar kalau esok pagi, kapal KM Ngapulu akan tiba dari Tual. Kebetulan sekali pada hari itu tidak ada jadwal mengajar. Maka saya ajak Ongen untuk mendaki Gunung Api Banda.

Pagi-pagi buta, kami sudah keluar rumah menuju Pelabuhan Lamani untuk mencari perahu yang mengantar kami menyeberang ke pulau tempat gunung api berada. Jaraknya dekat saja, kurang lebih 500 meter. Dengan perahu motor hanya ditempuh kurang lebih 10 menit!

Kami menemukan tukang perahu yang mau mengantar kami ke seberang. Ongkosnya cuma Rp5.000 per orang. Kami juga minta saat pulang nanti agar dijemput. Ia setuju dan memberikan nomor telepon untuk dihubungi bila kami sudah turun gunung.

Gunung Api Banda masih aktif, mempunyai ketinggian 640 meter di atas permukaan laut. Selama empat abad, tercatat telah meletus sebanyak 24 kali, yang terakhir pada 19 Mei 1988. Akibatnya kampung-kampung yang berada di kaki gunung musnah. Memakan jiwa tiga warga.

Sampai sekarang kampung-kampung itu tidak dibangun kembali dengan alasan keamanan. Warga kampung mengungsi ke pulau-pulau lain di Banda bahkan sampai ke kabupaten lain. Lahar mengalir ke arah utara gunung dan masuk ke laut, mematikan semua terumbu karang di sekitarnya.

Namun sekarang, tempat aliran lahar di laut itu menjadi salah satu tempat favorit para penyelam yang berkunjung ke Banda. Karena terumbu karangnya menjadi sangat sehat dan indah. Titik menyelam itu kini dinamakan Lava Flow, atau aliran lahar!

Kami mulai mendaki pukul 5:40 waktu setempat. Kapal putih biasanya memasuki perairan Banda Neira pukul 8:00. Artinya, kami punya waktu dua jam lebih untuk sampai ke puncak dan melihat kapal putih datang.

“Langsung nanjak memang,” kata Ongen saat memulai pendakian.

Gunung Api Banda adalah gunung soliter alias berdiri sendiri di tengah laut. Dari titik 0 meter di atas permukaan laut langsung mendaki tanpa basa-basi. Ini menguras tenaga. Belum lagi jalur mendakinya didominasi oleh pasir dan kerikil. Langkah kami bagai tersedot, bila tidak berhati-hati melangkah, bisa-bisa tergelincir.

 

Baca Juga: Ludovico di Varthema, Sang Penentu Arah Pemburu Rempah

Dari Gunung Api Banda, terlihat kedatangan kapal putih. Selain itu, dari sini bisa melihat lanskap Bandanaira beserta landasan pacu bandar udaranya yang melintang di tengah pulau. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

Pukul tujuh pagi, kami sudah mendekati ketingian 500-an meter. Tinggal 100 meteran lagi kami sampai ke puncak. Sudah memasuki daerah terbuka dengan vegetatif rendah, tak ada lagi pohon yang menghalangi untuk melihat sekeliling kawasan.

Dari ketinggian ini, kami bisa melihat Pulau Banda Neira dan perairan sekitarnya. Termasuk Pulau Banda Besar dan Pulau Sjahrir. Yang terakhir disebut itu dilatarbelakangi kisah Sjahrir saat kabur ke pulau itu dari pengasingan dan dicari-cari kolonial Belanda.

Terlihat di kejauhan, sebuah kapal putih bergerak dari arah Tual di timur, itulah kapal KM Ngapulu! Apa yang dibilang Bambang benar. Menyaksikan kapal putih datang memang lebih asyik dari atas gunung api!

Kapal bergerak perlahan mendekati selat di antara Pulau Gunung Api dan Banda Neira. Sekali-kali terdengar suara klaksonnya. Ukuran kapal sungguh besar. Terlihat gagah memasuki pelabuhan. Kapal ini bisa mengangkut lebih dari 2.000 penumpang.

 

Bukan hanya kapal putih yang mengasyikan dilihat dari atas gunung, tapi juga Pulau Banda Neira dan lingkungan sekitarnya. Terlihat landasan pacu bandara membelah di tengahnya, dengan orientasi timur barat. Bandara ini unik, karena melintang di tengah pulau. Kedua ujung landasan pacu langsung berbatasan dengan laut. Kalau pilot terlambat mengerem atau take off dijamin masuk ke Laut Banda yang dalam!

Kami juga bisa menyaksikan benteng-benteng di pulau tersebut. Benteng Belgica yang dibangun Portugis dan Benteng Nassau yang dibangun Belanda. Banda memang jadi wilayah penting yang diperebutan kolonial Barat. Buah pala adalah andalannya sampai sekarang. Tak heran salah satu pulau di sana, Rhun, ditukar guling dengan Manhattan oleh Inggris kepada Belanda.

Oh ya, waktu akan berangkat saya disarankan membawa telur mentah ke puncak gunung. Disarankan begitu tanpa penjelasan apa-apa Karena tak mengerti maksudnya tak saya turuti. Sampai di puncak gunung, saya baru mengerti maksud membawa telur mentah itu: untuk dimasak!

 

Baca Juga: Jalur Rempah, Rute Dagang yang Menyimpan Solusi Masalah Masa Kini

Lomba perahu kora-kora (belang) rutin diadakan tiap tahun, menjadi ajang bergengsi untuk unjuk kekuatan antar desa di Kepulauan Banda, Maluku Tengah. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

 

Memasaknya bukan direbus dengan air menggunakan api atau kompor, tapi cukup dengan menggali lubang kecil di tanah lalu masukan telurnya dan ditimbun dengan tanah bekas galian. Dalam waktu kurang dari 15 menit dijamin telur matang!

Ya, tanah di puncak gunung api memang panas! Saya baru menyadari saat duduk di atas tanah untuk beristirahat di puncaknya. Terasa panas menyengat di bokong!

Dari puncak gunung ini, kita bisa melihat gugusan pulau-pulau lain di Kepulaun Banda, termasuk Pulau Rhun dan Pulau Ay di sebelah baratnya. Sedangkan Pulau Hatta terhalang Pulau Banda Besar. Gunung Api Banda, menurut saya, tempat yang wajib dikunjungi bila ke Banda. Tentu saja ada sederetan tempat bersejarah lain yang tak kalah menarik serta tempa-tempat dengan potensi wisata alamnya yang memesona!

Ada satu tempat lagi dengan pemandangan yang menakjubkan yang wajib didatangi saat ke Banda. Yaitu menyaksikan matahari terbenam dari kampung Salamun di Pulau Banda Besar. Ini bagai sihir! Dan lagi-lagi Bambang lah yang “menjerumuskan” saya ke sana dengan ceritanya.

Kali ini, Ongen tidak ikut, hanya Bambang dan saya. Kami dijemput dengan menggunakan perahu motor oleh mertuanya yang tinggal di Kampung Salamun, Rakib Takartutun. Sebelum berangkat, saya dipanas-panasi seorang pemuda lokal, Lukman Alibaba. Ia bilang, “Untuk melihat indahnya matahari terbenam harus dari Salamun.” Semakin semangat saya ke sana!

 

Baca Juga: Nasib Kapal-Kapal Kuno yang Tenggelam di Jalur Rempah Nusantara

Tarian Cakalele dari Lonthoir yang disakralkan, dari kostum penarinya menunjukkan Banda menyerap berbagai kebudayaan. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

Tapi ngomong-ngomong, saya kok enggak yakin nama asli kenalan saya itu Lukman Alibaba, jangan-jangan itu hanya panggilan seperti Bambang. Ah, entahlah.

Menyeberang dari Pulau Banda Neira ke kampung Salamun di Pulau Banda Besar hanya memakan sekitar setengah jam. Setiba di sana, saya diajak berkeliling pulau untuk melihat kegiatan warga mengolah hasil kebun pala mereka. Di halaman rumah-rumah warga terlihat hamparan buah pala yang dijemur.

Pulau Banda Besar adalah pulau terluas di kepulauan ini. Maka tak heran bila jadi penghasil utama buah pala. Pulau-pulau lain juga menghasilkan pala tapi tidak sebanyak pulau ini. Topografinya ideal untuk pohon pala berkembang, karena bukit-bukitnya tidak terlalu tinggi. Jika terlalu tinggi, pohon pala akan kedinginan. Suhu rendah tidak bagus untuknya.

Tak heran buah pala kualitas terbaik di dunia berasal dari kepulauan ini. Hampir seluruh lahan di pulau ini ditanami buah pala. Budi daya buah ini menjadi penghasilan utama warga termasuk keluarga Takartutun.

Penghasilan lain yaitu budi daya pohon kenari dan mencari ikan di laut. Pohon kenari tak bisa dipisahkan dari pohon pala. Karena untuk tumbuh dengan baik, pala perlu pohon kenari yang menjulang tinggi sebagai pelindungnya. Pohon pala selalu tumbuh di bawah rerimbunan pohon kenari.

 

Baca Juga: Saat Pulau Run di Maluku Ditukar dengan Manhattan di Amerika

Keranjang anyaman untuk menampung buah pala. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

Ingat lirik lagu ini? “Waktu hujan sore-sore , kilat sambar pohon kenari.” Nah, lagu itu berasal dari Kepulauan Banda! Lirik agak aneh sebenarnya, ada petir menyambar-nyambar kok malah bernyanyi dan menari?

Dan benarlah apa yang disampaikan Bambang dan Lukman Ali, kampung Salamun adalah tempat paling ideal untuk melihat matahari terbenam.

Salamun berada di seberang timur Pulau Banda Neira dan Pulau Gunung Api, sehingga dua pulau itu yang menjadi latar depan saat matahari terbenam di barat. Ditambah lagi aktivitas warga Salamun di kala senja, bermandi dan bermain perahu di pantai serta dermaga. Maka kehidupan keseharian warga dan keindahan alamnya menyatu begitu saja di depan mata. Ini bagai sihir!

Kampung Salamun menjadi salah satu tempat yang memberi kesan mendalam selama saya di berada di kepulauan ini. Tekad saya, suatu saat akan datang lagi ke sana untuk menikmati sihir keindahan senjanya!