Setelah Jepang masuk, bubarlah kegiatan ini. Pemusiknya masuk memperkuat grup tanji. Rombongan mereka main alias ngamen dari rumah ke rumah.
Namun saat periode Walikota Jakarta Raya Sudiro, pada 1953, sayangnya grup tanjidor dianggap merendahkan harkat sehingga dilarang dalam bentuk apa pun.
Said Neleng, pimpinan Sanggar Tanjidor Pusaka Tiga Sodara di Jagakarsa, mengatakan, ada tantangan mempertahankan grupnya yang mulai berdiri 1973 ini. Di satu sisi, Sait mengatakan, upaya regenerasi tanjidor tidak mudah dilakukan karena generasi muda umumnya tidak tertarik mempelajari tanjidor.
Tantangan terbesar adalah soal regenerasi, kata Said. Anak muda, tak terkecuali anak-anaknya, sering menolak jika disuruh "nanggap" tanjidor. Sekarang ini juga tidak banyak lagi grup tanjidor, baik di daerah Jakarta dan pinggiran kota, maupun daerah-daerah Jawa Barat.
Menurut Sejarawan JJ Rizal, seperti kesenian Betawi lain, yaitu lenong dan gambang keromong, tanjidor juga terus terpinggirkan. Upaya yang dilakukan agar tanjidor terus bertahan hidup, salah satunya ditandai dengan kemunculan banyaknya variasi dalam tanjidor. Seperti tanjikres (tanjidor orkes), tanjinong (tanjidor lenong), tanjidor yang memainkan lagu-lagu Betawi seperti ”Jali-Jali” dan ”Cente Manis”, tanjidor dengan jaipongan atau tanjidor yang memainkan lagu-lagu Melayu hingga dangdut.
Baca Juga: Roemah Piatoe Ati Soetji, Filantropi Istri Kapitan Cina di Betawi
Meski demikian, Rizal tidak ragu tanjidor bisa bertahan. Berkaca pada sejarah; saat mengalami benturan setelah larangan main di Jakarta, tanjidor justru berlanjut dan tetap hidup dengan cara berevolusi.
"Di daerah baru, mereka bertemu dengan kesenian lain, terus terciptalah kreasi-kreasi baru. Ada jinong (tanji dan lenong), jikres (tanji orkes), jipeng (tanji topeng), dan lain-lain," terangnya. "Karena itu Betawi yang lentur, fleksibel, sebenarnya terlihat pada tanjidor," ujar Rizal lagi.
Namun, keberlangsungan hidup tanjidor makin terancam karena tidak ada upaya pendokumentasian. Salah satunya terhadap lagu-lagu yang dimainkan. Selama ini, para pemain tanjidor memainkan lagu tanpa catatan, hanya berdasarkan ingatan. Kepedulian pemerintah pernah ditunjukkan pada era Ali Sadikin dengan upaya pendokumentasian. Namun, hasil dokumentasi tersebut hilang.
Minimnya pendokumentasian terhadap tanjidor dikhawatirkan akan semakin mengancam kelangsungan hidup salah satu jenis kesenian Betawi ini. Semua pihak, terutama pemerintah, perlu bersama-sama melakukan upaya pendokumentasian terhadap tanjidor agar kesenian Betawi ini terus lestari dan dapat diteruskan kepada generasi selanjutnya.
—Artikel ini pernah tayang pada 22 Maret 2014.