“Boat toetoerken satoe-per-satoe riwajatnja ada terlaloe pandjang dan soeker,” ungkap Nyonya Lie Tjian Tjoen dalam maanblad Istri edisi Oktober 1935, “tjoema saja bisa bilang dengen pendek jang ini pekerdjaan haroes dapet sokongan dari publiek aoemoemnja.”
Sang Nyonya yang memiliki nama kecil Auw Tjoei Lan (1889-1965) itu merupakan istri dari Kapitan Lie Tjian Tjoen, seorang perwira tituler Tionghoa.
Awalnya dia merupakan anggota perkumpulan Roemah Piatoe Ati Soetji, sebuah badan usaha sosial yang diyakini didirikan pada 27 Oktober 1914 oleh Dokter Zigman di Batavia. Pada saat itu sulit sekali mendapatkan donatur lantaran warga belum mengenal sebuah arti pekerjaan sosial. Beruntungnya, suami Nyonya Lie merupakan pejabat terkemuka dalam pemerintahan Kota Batavia yang juga seorang filantropi. Kekurangan sokongan dana ditutup oleh kantong pasangan tersebut.
Kisah ini dinukil dari buku hasil riset A. Bobby Pr. bertajuk Ny. Lie Tjian Tjoen: Mendahului Sang Waktu yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas untuk memperingati seabad panti asuhan itu.
Baca juga: Gemerlap Para Nyonya Sosialita di Batavia Zaman VOC
Nyonya Lie dan beberapa kolega Zigman, seperti Dirk van Hinloopen Labberton dan Soetan Temanggoeng, terjun langsung melindungi para gadis asal Macau dan Tiongkok Selatan yang menjadi korban penyelundupan ke Batavia. Sebuah sindikat telah memperbudak mereka sebagai pelacur—atau pembantu bagi yang berparas kurang menarik. Kadang, Nyonya Lie melakukan investigasi dengan mengendap-endap ke pelabuhan untuk melakukan investigasi soal keberadaaan para perempuan malang itu. Sesekali, dia juga melakukan siasat kepada mucikarinya.
Atas ketulusan hatinya, Ratu Wihelmina menganugerahkan medali kehormatan Ridder in de Orde van Oranje Nassau kepada Nyonya Lie pada 24 Agustus 1925. Sang Nyonya pun menjadi perempuan Tionghoa pertama yang menyandang medali tersebut. Kendati demikian, dia tidak membanggakan diri. Pernah ada seorang jurnalis yang menanyakan kepada Nyonya Lie, namun dia khawatir dianggap menyombongkan diri. Dia memilih melakukan semuanya dalam senyap.
Nama perkumpulan itu pun menyandang nama Tionghoa, “Po Liang Kiok” yang bermakna “tempat perlindungan untuk menjaga kebajikan.” Selama masa Hindia Belanda, pimpinan usaha sosial masih dijabat orang Eropa yang mengelola panti asuhan untuk anak perempuan dan lelaki. Setelah Indonesia merdeka, Nyonya Lie menjadi pimpinan Rumah Piatu Ati Soetji dan hanya mengelola panti asuhan anak perempuan.
Rumah Piatu Ati Soetji awalnya bertempat di kawasan Gunung Sahari, namun sejak 30 November 1929 mereka menghuni gedung baru yang lebih luas di kawasan Kebon Sirih.
Acap kali, Nyonya Lie mendapatkan bingkisan bayi di pekarangan rumahnya yang sengaja dibuang oleh orang tuanya—entah lantaran tak mampu atau hasil hubungan gelap. Bayi-bayi malang itu dirawatnya dalam buaian sebagai anak sendiri, bahkan dia memberikan nama marga “Lie” untuk mereka.
“Jang katrima tjoema anak-anak jang piatoe, tida ada papa atawa mama, jang papanja kedjem, tida lakoeken kawadjibannja dengen betoel,” ungkap Nyonya Lie dalam majalah yang sama. Pernah juga dia merasakan kecamuk situasi antara kesedihan dan kegembiraan, tatkala anak asuhnya telah ditemukan kembali oleh orang tuanya dan berakhir kembali ke Tiongkok.
Sejatinya banyak kisah Tionghoa filantropis yang memerhatikan nasib anak-anak di Batavia dan sekitarnya.
Namun sejak akhir 1950-an kasus bayi-bayi terbuang kian jarang terjadi. Belakangan, Nyonya Lie tidak hanya merawat anak-anak keturunan Tionghoa, tetapi juga anak-anak setempat. Mereka berasal dari kota-kota besar di penjuru Indonesia.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR