Nasib Musik Tanjidor: Dari Kaum Mardijker Sampai Kaum Pinggiran

By National Geographic Indonesia, Senin, 3 Mei 2021 | 17:00 WIB
Tanjidor (kadang hanya disebut tanji) adalah sebuah kesenian Betawi yang berbentuk orkes. Kesenian ini sudah ada sejak abad ke-19 di daerah Citrap atau Citeureup. (M. Jeffry Hanafiah/Wikimedia)

 

Nationalgeographic.co.id—Kesenian tanjidor, merupakan salah satu kesenian rakyat Betawi nyaris punah. Bagaimana riwayatnya dari dahulu hingga kini?

Dari paparan Rachmat Ruchiyat, peneliti yang sudah mendokumentasi berbagai budaya Betawi, tanjidor mulai tercatat perkembangannya di masa tuan tanah di Batavia. Racmat menuturkan, pada awal kemunculannya, tanjidor yang didominasi alat musik tiup, merupakan kesenian masyarakat papan atas. Namun, kini tanjidor hanya dimainkan masyarakat pinggiran Jakarta.

"Pada abad ke-19, di lingkungan Betawi ini, hiduplah tuan-tuan tanah kaya raya. Salah satunya: Majoor Jantje, yang tinggal di Citrap," kata Rachmat.

 

Mayor Jantje ini, lanjutnya bertutur, memiliki sekelompok pelayan yang secara bergantian memainkan alat musik untuk menghiburnya—entah itu musik gesek, musik tiup, musik gamelan, atau musik disebut cikal-bakal gambang kromong, dalam sajian musik kamar.

Namanya, Augustijn Michiels asal Semper Idem, timur laut Batavia. Namun, dia populer dengan sebutan Mayor Jantje. Sosoknya kerap dikaitkan dengan perannya memunculkan musik tanjidor.

Ayahnya yang bernama Jonathan Michiels, merupakan seorang mardijkers di timur laut Batavia. Dia memiliki tanah di Cileungsi dan Klapanunggal. Semenjak 1807, Mayor Jantje sebagai ahli waris tanah-tanah ayahnya.

Sepuluh tahun kemudian, Mayor Jantje membeli tanah Citereup dan tanah-tanah di sepanjang jalan raya antara Batavia dan Buitenzorg. Tanah-tanah itu membutuhkan ratusan budak untuk mengelolanya—lelaki dan perempuan.

Baca Juga: Peran Besar Tokoh Betawi MH Thamrin bagi Sejarah Sepakbola Indonesia

Landhuis Citrap atau Citereup. Latar cerita tentang Mayor Jantje yang dikisahkan oleh Johan Fabricus dalam tajuk DE LAATSTE DER MARDIJKERS, terbit 1916. (KITLV)

Sekitar akhir 1820-an, Mayor Jantje mendirikan kelompok musik “Het Muziek Corps der Papangers”. Para pemain musiknya adalah budak-budaknya sendiri. Mereka memainkan alat musik Eropa seperti tamburin Turki, terompet Perancis, drum bas, dan clarinet. Mereka kerap pentas di pesta-pesta Sang Mayor. Lagu-lagu yang dimainkan pun beragam yang mewakili etnis di Batavia. Ada musik Eropa, ada pula musik Cina.

Mayor bahkan memanggil guru pelatih atau mentor khusus untuk mengajari budak-budaknya yang berbakat musik. Sampai muncul peraturan baru yang membuat perbudakan dibubarkan, para pemusik tersebut membentuk yang merupakan muasal kelompok tanjidor. Uniknya, mereka selalu bermain tanpa partitur. Tidak ada patron atau ketentuan yang baku. Inilah ciri yang mengikuti tanjidor sampai saat ini.

Dalam perkembangannya musik ini disebut “tanjidor”. Dalam bahasa Betawi, kata “tanji” berarti musik. Namun, kata “tanji” kemungkinan berasal dari kata “tanger” dalam bahasa Portugis yang berarti “bermain musik”. Kata “tangedor” bermakna “bermain musik di luar ruangan”.

Di Societeit Concordia atau Balai Pertemuan Militer (dahulu lokasinya berada di kompleks Departemen Keuangan), tiap hari terutama Sabtu sore, dimainkan macam-macam musik sampai  1942, sebelum pendudukan Jepang.

 

Setelah Jepang masuk, bubarlah kegiatan ini. Pemusiknya masuk memperkuat grup tanji. Rombongan mereka main alias ngamen dari rumah ke rumah.

Namun saat periode Walikota Jakarta Raya Sudiro, pada 1953, sayangnya grup tanjidor dianggap merendahkan harkat sehingga dilarang dalam bentuk apa pun.

Said Neleng, pimpinan Sanggar Tanjidor Pusaka Tiga Sodara di Jagakarsa, mengatakan, ada tantangan mempertahankan grupnya yang mulai berdiri 1973 ini. Di satu sisi, Sait mengatakan, upaya regenerasi tanjidor tidak mudah dilakukan karena generasi muda umumnya tidak tertarik mempelajari tanjidor.

Tantangan terbesar adalah soal regenerasi, kata Said. Anak muda, tak terkecuali anak-anaknya, sering menolak jika disuruh "nanggap" tanjidor. Sekarang ini juga tidak banyak lagi grup tanjidor, baik di daerah Jakarta dan pinggiran kota, maupun daerah-daerah Jawa Barat.

Menurut Sejarawan JJ Rizal, seperti kesenian Betawi lain, yaitu lenong dan gambang keromong, tanjidor juga terus terpinggirkan. Upaya yang dilakukan agar tanjidor terus bertahan hidup, salah satunya ditandai dengan kemunculan banyaknya variasi dalam tanjidor. Seperti tanjikres (tanjidor orkes), tanjinong (tanjidor lenong), tanjidor yang memainkan lagu-lagu Betawi seperti ”Jali-Jali” dan ”Cente Manis”, tanjidor dengan jaipongan atau tanjidor yang memainkan lagu-lagu Melayu hingga dangdut.

Baca Juga: Roemah Piatoe Ati Soetji, Filantropi Istri Kapitan Cina di Betawi

Penampilan grup tanjidor Tiga Saudara membuka Parade Tanjidor di Bentara Budaya Jakarta. (Yuniadhi Agung/KOMPAS)

Meski demikian, Rizal tidak ragu tanjidor bisa bertahan. Berkaca pada sejarah; saat mengalami benturan setelah larangan main di Jakarta, tanjidor justru berlanjut dan tetap hidup dengan cara berevolusi.

"Di daerah baru, mereka bertemu dengan kesenian lain, terus terciptalah kreasi-kreasi baru. Ada jinong (tanji dan lenong), jikres (tanji orkes), jipeng (tanji topeng), dan lain-lain," terangnya. "Karena itu Betawi yang lentur, fleksibel, sebenarnya terlihat pada tanjidor," ujar Rizal lagi.

Namun, keberlangsungan hidup tanjidor makin terancam karena tidak ada upaya pendokumentasian. Salah satunya terhadap lagu-lagu yang dimainkan. Selama ini, para pemain tanjidor memainkan lagu tanpa catatan, hanya berdasarkan ingatan. Kepedulian pemerintah pernah ditunjukkan pada era Ali Sadikin dengan upaya pendokumentasian. Namun, hasil dokumentasi tersebut hilang.

Minimnya pendokumentasian terhadap tanjidor dikhawatirkan akan semakin mengancam kelangsungan hidup salah satu jenis kesenian Betawi ini. Semua pihak, terutama pemerintah, perlu bersama-sama melakukan upaya pendokumentasian terhadap tanjidor agar kesenian Betawi ini terus lestari dan dapat diteruskan kepada generasi selanjutnya.

 

—Artikel ini pernah tayang pada 22 Maret 2014.