Perlu diingat bahwa Suwadi bukanlah anggota Sarekat Islam Semarang (SI Merah), ISDV ataupun PKI.
Alasannya, menurut Menurut H.A.H Harahap dan B.S Dewantara dalam buku Ki Hajar Dewantara dkk (1980), karena sikapnya yang anti kapitalisme dan imperalisme, serta wawasan sosialisme yang dimilikinya.
Selain itu, pemahaman Pottier juga memiliki nafas perjuangan bagi para kaum tertindas di Hindia Belanda. Dari situ, Suwardi berpesan bahwa kolonialisme harus dilenyapkan lewat liriknya yang juga menularkan semangat pada kaum pemuda.
Lagu Internationale tidak ditelan mentah-mentah untuk diterjemahkan ke bahasa Melayu. Budi Prihartanto dan Y. Edhi Susilo dalam studinya, menyebut Suwardi Suryaningrat mencoba mencocokkan paham syair itu dengan yang ada di Hindia Belanda.
Baca Juga: Di Balik Kitab Suci Kaum Komunis: Inspirasi Jawa untuk Karl Marx
"Usaha merelavankan dengan kebudayaan bangsa timur terlihat dalam beberapa bait sayir asli L'Internationale, yang sengaja digubah dalam sajian bermuatan makna kearifan yang dijunjung tinggi bangsa Timur," tulis mereka.
Suwardi Suryaningrat dianggap berusaha mengenalkan perjuangan kemerdekaan harus dimulai dari persatuan dan pengorbanan.
"Jiwa seperti itulah yang hendak ditularkan Suwardi melalui lagu L'Internationale untuk bangsanya," tulis mereka.
Seiring perkembangannya waktu, Internationale di Indonesia punya berbagai versi dengan inti pesan yang sama, yakni versi PKI dalam dokumen 1960, A. Yuwinu 1970, saduran kolektif "Enam Maret", versi Umar Said, versi serikat buruh pasca-Soeharto, dan versi Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI).
Subijanto menulis, bahwa Suwardi yang memiliki kemampuan kesusastraan ketika diasingkan tak hanya menulis Internationale, tetapi ada banyak lagu perjuangan lainnya. Beberapa antaranya yang terkenal adalah Darah Ra'jat, Marianna, Meiviering, dan Hidjo-Hidjo.