Bangunlah kaum yang terhinaBangunlah kaum yang lapar
Kehendak yang mulia dalam dunia, senantiasa bertambah besarLenyapkan adat dan paham tuaKita rakyat, sadar-sadar
Dunia sudah berganti rupa untuk kemenangan kita.Perjuangan. Penghabisan. Kumpullah. Melawan.Dan Internationale pasti di dunia.
Nationalgeographic.co.id—Itulah nyanyain Internationale yang digaungkan oleh para buruh dalam setiap pergerakan seperti berdemonstrasi dan Mayday setiap 1 Mei, dengan tujuan membakar semangan dan solidaritas.
Lagu Internationale sudah dikumandangkan sejak Hari Buruh pada 1946 di Balai Agung Jakarta. Dalam peringatan Hari Buruh itu, dibuka dengan lagu Indonesia Raya, pemaknaan 1 Mei, pidato, dan dilanjutkan lagu Internationale.
Lagu ini merupakan hasil penerjemahan yang dilakukan oleh Surwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) dari bahasa Belanda saat diasingkan pemerintah Hindia Belanda pada 1913. Judul asli lagunya adalah L'Internatonale karya revolusioner Prancis Eugene Pottier pada 1872.
Baca Juga: Samin Surosentiko dari Ningrat Jadi Tokoh Perlawanan Tani dan Buruh
Andrew Hussey dalam buku Paris: The Secret History (2008), menyebut bahwa L'Internationale awalnya hanyalah syair yang dibuat Pottier dalam pelarian pada 1872. Saat itu, ia terlibat dalam penggulingan pemerintahan borjuis Prancis oleh kelas pekerja.
Syair itu ditujukan untuk menggambarkan pengalaman sejarah perjuangan pekerja untuk dikabarkan ke seluruh dunia.
Secara lirik, Donny Gluckstein dalam International Socialism (Vol 2 tahun 2008) menyebut, menggambarkan pemahaman yang dianut Pottier. Pottier adalah pengikut Proudhonisme, sebuah ideologi populer di kalangan revolusioner Prancis di masanya.
L'Internationale dipahami sebagai cara Pottier menggambarkan peristiwa bersejarah yang dilakukan kelas buruh, dan sengaja untuk ditujukan ke seluruh dunia.
Ketika dalam pelarian, Pottier bertemu dengan seorang komponis simpatisan sosialis, Pierre Degeyter. Syair itu kemudian dilagukan dengan nada perjuangan yang dipahami Degeyter. Sejak saat itu, L'Internationale menginsiprasi gerakan buruh sampai kini.
Baca Juga: Bagi Para Buruh Pakistan di Dubai, Gulat Kushti Adalah Kehidupan
Lagu ini kemudian diterjemahkan ke berbagai bahasa, terutama dari negara-negara penganut ideologi sosialisme dan komunisme, seperi Tiongkok, Vietnam, Korea, dan Uni Soviet.
L'Internationale bahkan sempat menjadi lagu kebangsaan Uni Soviet pada 1922 hingga 1944.
Sedangkan di Hindia Belanda, Rianne Kartikasari Subijanto dari University of Colorado menulis dalam disertasinya, Internationale dalam tiga bait dipublikasikan di surat kabar milik Sarekat Islam Semarang, Sinar Hindia pada 5 Mei 1920 oleh Suwardi Suryaningrat.
Perlu diingat bahwa Suwadi bukanlah anggota Sarekat Islam Semarang (SI Merah), ISDV ataupun PKI.
Alasannya, menurut Menurut H.A.H Harahap dan B.S Dewantara dalam buku Ki Hajar Dewantara dkk (1980), karena sikapnya yang anti kapitalisme dan imperalisme, serta wawasan sosialisme yang dimilikinya.
Selain itu, pemahaman Pottier juga memiliki nafas perjuangan bagi para kaum tertindas di Hindia Belanda. Dari situ, Suwardi berpesan bahwa kolonialisme harus dilenyapkan lewat liriknya yang juga menularkan semangat pada kaum pemuda.
Lagu Internationale tidak ditelan mentah-mentah untuk diterjemahkan ke bahasa Melayu. Budi Prihartanto dan Y. Edhi Susilo dalam studinya, menyebut Suwardi Suryaningrat mencoba mencocokkan paham syair itu dengan yang ada di Hindia Belanda.
Baca Juga: Di Balik Kitab Suci Kaum Komunis: Inspirasi Jawa untuk Karl Marx
"Usaha merelavankan dengan kebudayaan bangsa timur terlihat dalam beberapa bait sayir asli L'Internationale, yang sengaja digubah dalam sajian bermuatan makna kearifan yang dijunjung tinggi bangsa Timur," tulis mereka.
Suwardi Suryaningrat dianggap berusaha mengenalkan perjuangan kemerdekaan harus dimulai dari persatuan dan pengorbanan.
"Jiwa seperti itulah yang hendak ditularkan Suwardi melalui lagu L'Internationale untuk bangsanya," tulis mereka.
Seiring perkembangannya waktu, Internationale di Indonesia punya berbagai versi dengan inti pesan yang sama, yakni versi PKI dalam dokumen 1960, A. Yuwinu 1970, saduran kolektif "Enam Maret", versi Umar Said, versi serikat buruh pasca-Soeharto, dan versi Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI).
Subijanto menulis, bahwa Suwardi yang memiliki kemampuan kesusastraan ketika diasingkan tak hanya menulis Internationale, tetapi ada banyak lagu perjuangan lainnya. Beberapa antaranya yang terkenal adalah Darah Ra'jat, Marianna, Meiviering, dan Hidjo-Hidjo.