"Periode-periode ini merupakan masa penderitaan. Petani Jawa dalam ketidakberdayaannya karena ditinggalkan rajanya, yang telah beralih menjadi birokrat kolonial, mencari penyelesaian masalahnya sendiri dengan cara irrasional yakni lewat perkumpulan-perkumpulan keagamaan," tulis Sulistyo.
Maka sejak saat itulah berkembang perlawanan buruh keagamaan di bawah Sarekat Islam (SI) pada 1912.
Lalu dilanjutkan kelompok perlawanan pada 1914 lewat paham yang dibawa Henk Sneevliet, tokoh Marxis dari Belanda. Ia pun membuat Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) di Surabaya.
Lambat laun serikat pekerja makin menjamur, seperti Vereeiging voor Spoor -en Tramwegpersoneel (VSTP) yang dipimpin Semaun, dan serikat buruh pabrik gula yang merupakan gerakan terpenting pada masanya.
Baca Juga: Cerita Kuli Perkebunan di Balik Kubah Lonceng Megah AVROS Medan
Serikat buruh pabrik gula bahkan sempat mengadakan gerakan protes bunuh diri, dan akhirnya mendapatkan meja runding dari pemerintah.
Kesamaan Sarekat Islam yang peduli pada orang miskin membuat mereka dapat bergandengan dengan kalangan proletar dan basis massa komunis. Tetapi karena sifat komunis yang agresif, mengakibatkan sedikit perpecahan dalam SI, antara SI Merah dan SI Putih.
Kondisi tenaga kerja kian buruk di tangan pemerintahan kolonial menjelang dekade kedua abad XX. Akibatnya, 1919-1920 Hindia Belanda diwarnai dengan pemogokan di mana-mana, seperti pelabuhan, hingga kehutanan.
Serikat-serikat buruh akhirnya masuk ke perusahaan-perusahaan untuk mengorganisir buruh yang juga tertindas.
Seiring berjalannya waktu, perjuangan buruh makin kuat ketika ideologi Marxisme mendorong mereka untuk mendirikan negara yan g merdeka. Maka pada 1926-1927, para buruh dari PKI melakukan pemberontakan.
Baca Juga: Bagi Para Buruh Pakistan di Dubai, Gulat Kushti Adalah Kehidupan