Gejolak Perjuangan Buruh dalam Masa Kolonialisme Belanda dan Jepang

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Senin, 3 Mei 2021 | 07:00 WIB
Sebuah diorama yang menggambarkan para romusha yang sedang membangun jalur kereta api dalam pengawasan tentara Jepang. Sumatra Barat memiliki riwayat pembangunan rel kereta terkait dengan batu bara. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Peringatan 1 Mei sudah menjadi 'hari raya' bagi buruh sedunia untuk mengemukakan pendapatnya. Di Indonesia sendiri, sudah dirayakan sejak 1920 oleh berbagai kelompok buruh yang bahkan sudah tersebar di luar Pulau Jawa dan Sumatera.

Tetapi bagaimana kisah perjuangan buruh dalam sejarah Indonesia? Bambang Sulistyo, sejarawan Universitas Indonesia menulis di Lensa Budaya (Vol.13 No.2 tahun 2018), bahwa pergerakan buruh tidak terlepas dari perbudakan Cultuur Stelesel pada 1830.

Ketika Politik Liberal tahun 1870 dijalankan, pemerintah Hindia Belanda melepaskan monopolinya dengan membuka pintu swasta. Sejak saat itu perusahaan masuk ke perkebunan Sumatera dan Jawa serta menggunakan tenaga buruh baik dari Tiongkok maupun bumiputera.

Baca Juga: Samin Surosentiko dari Ningrat Jadi Tokoh Perlawanan Tani dan Buruh

 

"Periode-periode ini merupakan masa penderitaan. Petani Jawa dalam ketidakberdayaannya karena ditinggalkan rajanya, yang telah beralih menjadi birokrat kolonial, mencari penyelesaian masalahnya sendiri dengan cara irrasional yakni lewat perkumpulan-perkumpulan keagamaan," tulis Sulistyo.

Maka sejak saat itulah berkembang perlawanan buruh keagamaan di bawah Sarekat Islam (SI) pada 1912.

Lalu dilanjutkan kelompok perlawanan pada 1914 lewat paham yang dibawa Henk Sneevliet, tokoh Marxis dari Belanda. Ia pun membuat Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) di Surabaya.

Lambat laun serikat pekerja makin menjamur, seperti Vereeiging voor Spoor -en Tramwegpersoneel (VSTP) yang dipimpin Semaun, dan serikat buruh pabrik gula yang merupakan gerakan terpenting pada masanya.

Baca Juga: Cerita Kuli Perkebunan di Balik Kubah Lonceng Megah AVROS Medan

Kuli-Kuli Bangka keturunan Tionghoa di cucian bijih hancur pada 1890. (KITLV)

Serikat buruh pabrik gula bahkan sempat mengadakan gerakan protes bunuh diri, dan akhirnya mendapatkan meja runding dari pemerintah.

Kesamaan Sarekat Islam yang peduli pada orang miskin membuat mereka dapat bergandengan dengan kalangan proletar dan basis massa komunis. Tetapi karena sifat komunis yang agresif, mengakibatkan sedikit perpecahan dalam SI, antara SI Merah dan SI Putih.

Kondisi tenaga kerja kian buruk di tangan pemerintahan kolonial menjelang dekade kedua abad XX. Akibatnya, 1919-1920 Hindia Belanda diwarnai dengan pemogokan di mana-mana, seperti pelabuhan, hingga kehutanan.

Serikat-serikat buruh akhirnya masuk ke perusahaan-perusahaan untuk mengorganisir buruh yang juga tertindas.

Seiring berjalannya waktu, perjuangan buruh makin kuat ketika ideologi Marxisme mendorong mereka untuk mendirikan negara yan g merdeka. Maka pada 1926-1927, para buruh dari PKI melakukan pemberontakan.

Baca Juga: Bagi Para Buruh Pakistan di Dubai, Gulat Kushti Adalah Kehidupan

Peralatan yang digunakan ahli daktiloskopi untuk bekerja memeriksa sidik jari kuli-kuli perkebunan di pantai timur Sumatra. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Tetapi pergolakan ini tak didukung oleh serikat buruh yang berafiliasi dengan SI. Pergolakan pun hanya terjadi di Jakarta, Banten, dan Sumatera Barat.

Karena peristiwa ini partai komunis dicap terlarang oleh pemerintah kolonial.

"Gerakan buruh mengalami kemunduran drastis. Gerakan buruh terpecah-belah dan disub-ordinasikan pada partai-partai politik," terang Sulistyo dalam papernya.

Senada dengan Sulistyo, FX Domini BB Hera peneliti Puslit Studi Budaya dan Laman Batas Universitas Brawijaya berpendapat, peristiwa itu membuat buruh menjadi sebuah kata yang buruk, dan terafiliasi dengan ideologi politik.

Para buruh di Sumatra sedang berkumpul sekitar 1898-1903 (D.O.L. Cornelius/KITLV 58250)

"Dulunya, makna buruh itu kata yang netral. Pasca '26, buruh mendapat stigmaisasi," katanya dalam webinar Diskusi Sejarah, Jejak Buruh dalam Historiofrafi Indonesia (Masa Kolonial-Reformasi) yang diadakan Universitas Negeri Yogyakarta, Sabtu (01/05/2021).

Memudarnya kekuatan PKI, gerakan buruh akhirnya bernaung dalam PNI yang bercita-cita untuk mewujudkan masyarakat sosialis dan anti-kapitalisme.

Sulistyo menulis, perjuangan PNI mengalami radikalisasi untuk menghendaki kemerdekaan, dan buruh pun tak ditanggapi pemerintah kolonial.

Nasib buruh pun mendapat pembelaan dari elit agama dan kelompok Marxis kolonial lewat Volksraad dan Tweede Kamer. Lewat sini mereka mendapatkan haknya untuk penghapusan sistem kontrak dan poenali sanksi pada 1932.

Baca Juga: Akibat Pandemi COVID-19, 1,6 Miliar Pekerja Kehilangan Mata Pencaharian

Panil relief porselen di gedung HVA (kini PTPN XI) yang menggambarkan aktivitas mandor dan kuli-kuli perkebunan. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Mereka pun mendapat dukungan dari partai buruh di Belanda seperti Sociaal Democratische Arbeiders Partij dan Sociaal-Democratische Partij. Dukungan itu membuat buruh di negeri koloni bisa berserikat kembali, dengan syarat tidak melawan pemerintah.

Sedangkan di masa Jepang tahun 1942 kata "buruh" diganti dengan "pekerja", buktinya tersedia dalam catatan jenis pekerjaan yang didata pemerintah Jepang.

"Kita tahu sendiri Jepang itu kan militeristik, dan mereka masih feodal karena masih kekaisaran. Dan gerakan kiri itu dianggap seperti ancaman di Jepang," ujarnya. "Di negerinya sendiri [begitu], apalagi di Indonesia. Enggak ada kata buruh, adanya pekerja."

Awalnya, semua pekerjaan mendapatkan upah, termasuk Barisan Pekerja atau yang lebih dikenal dengan Romusha. Tetapi akhirnya terlantar akibat masalah yang dihadapi pemerintah Jepang.

"Ini [Romusha] menarik untuk diteliti, karena jarang ditelit-- khususnya di Indonesia," jelas BB Hera agar ada penelitian mendalam terkait Romusha.