Gejolak Perjuangan Buruh dalam Masa Kolonialisme Belanda dan Jepang

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Senin, 3 Mei 2021 | 07:00 WIB
Sebuah diorama yang menggambarkan para romusha yang sedang membangun jalur kereta api dalam pengawasan tentara Jepang. Sumatra Barat memiliki riwayat pembangunan rel kereta terkait dengan batu bara. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

Tetapi pergolakan ini tak didukung oleh serikat buruh yang berafiliasi dengan SI. Pergolakan pun hanya terjadi di Jakarta, Banten, dan Sumatera Barat.

Karena peristiwa ini partai komunis dicap terlarang oleh pemerintah kolonial.

"Gerakan buruh mengalami kemunduran drastis. Gerakan buruh terpecah-belah dan disub-ordinasikan pada partai-partai politik," terang Sulistyo dalam papernya.

Senada dengan Sulistyo, FX Domini BB Hera peneliti Puslit Studi Budaya dan Laman Batas Universitas Brawijaya berpendapat, peristiwa itu membuat buruh menjadi sebuah kata yang buruk, dan terafiliasi dengan ideologi politik.

Para buruh di Sumatra sedang berkumpul sekitar 1898-1903 (D.O.L. Cornelius/KITLV 58250)

"Dulunya, makna buruh itu kata yang netral. Pasca '26, buruh mendapat stigmaisasi," katanya dalam webinar Diskusi Sejarah, Jejak Buruh dalam Historiofrafi Indonesia (Masa Kolonial-Reformasi) yang diadakan Universitas Negeri Yogyakarta, Sabtu (01/05/2021).

Memudarnya kekuatan PKI, gerakan buruh akhirnya bernaung dalam PNI yang bercita-cita untuk mewujudkan masyarakat sosialis dan anti-kapitalisme.

Sulistyo menulis, perjuangan PNI mengalami radikalisasi untuk menghendaki kemerdekaan, dan buruh pun tak ditanggapi pemerintah kolonial.

Nasib buruh pun mendapat pembelaan dari elit agama dan kelompok Marxis kolonial lewat Volksraad dan Tweede Kamer. Lewat sini mereka mendapatkan haknya untuk penghapusan sistem kontrak dan poenali sanksi pada 1932.

Baca Juga: Akibat Pandemi COVID-19, 1,6 Miliar Pekerja Kehilangan Mata Pencaharian

Panil relief porselen di gedung HVA (kini PTPN XI) yang menggambarkan aktivitas mandor dan kuli-kuli perkebunan. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Mereka pun mendapat dukungan dari partai buruh di Belanda seperti Sociaal Democratische Arbeiders Partij dan Sociaal-Democratische Partij. Dukungan itu membuat buruh di negeri koloni bisa berserikat kembali, dengan syarat tidak melawan pemerintah.

Sedangkan di masa Jepang tahun 1942 kata "buruh" diganti dengan "pekerja", buktinya tersedia dalam catatan jenis pekerjaan yang didata pemerintah Jepang.

"Kita tahu sendiri Jepang itu kan militeristik, dan mereka masih feodal karena masih kekaisaran. Dan gerakan kiri itu dianggap seperti ancaman di Jepang," ujarnya. "Di negerinya sendiri [begitu], apalagi di Indonesia. Enggak ada kata buruh, adanya pekerja."

Awalnya, semua pekerjaan mendapatkan upah, termasuk Barisan Pekerja atau yang lebih dikenal dengan Romusha. Tetapi akhirnya terlantar akibat masalah yang dihadapi pemerintah Jepang.

"Ini [Romusha] menarik untuk diteliti, karena jarang ditelit-- khususnya di Indonesia," jelas BB Hera agar ada penelitian mendalam terkait Romusha.