Nationalgeographic.co.id—Menjelang kemerdekaan dalam rapat pemuda Menteng 31, Sukarno memiliki pandangan agar Indonesia dijalankan sistem satu partai demi mempertahankan kesatuan nasional.
Namun pandangan itu berlawanan dengan Mohammad Hatta yang menganggap karna Indonesia multi-kultural, haruslah dijalankan dengan multi-partai.
Pandangan Hatta pun berpengaruh bagi kalangan buruh saat sekutu tiba, lewat maklumat No. X 3 November 1945. Lewat maklumat itu, pemerintah menginstruksikan agar rakyat mendirikan partai politik untuk membela kemerdekaan.
Bambang Sulistyo sejarawan Universitas Hasanuddin di Lensa Budaya (Vol. 13 No. 2 2018), partai dan organisasi buruh mulai berdiri, seperti Barisan Tani Indonesia (BTI), Sarekat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).
Baca Juga: Gejolak Perjuangan Buruh dalam Masa Kolonialisme Belanda dan Jepang
Lambat laun mereka menyatukan diri dalam PKI karena gagasan yang ditawarkan Musso, sehingga partai itu memiliki serikat yang banyak di seluruh Indonesia. Tapi SOBSI kemudian kehilangan komandonya pada 1948 ketika PKI diberantas pada 1948.
Tak hanya, PKI, partai-partai lain juga mengikuti cara berjejaring dengan serikat buruh, misal PNI dengan Kesatuan Buruh Marhaenis (KBM), dan NU dengan Serekat Buruh Muslimin Indonesia (SARBUMUSI).
Sulistyo menulis, peran buruh kerap menggoncang ekonomi dan politik selama 1950-1965. Banyak perusahaan asing mengalami kebangkrutan yang merugikan negara dan menguntungkan negara.
Salah satu yang menguntungkan negara misalnya oleh SOBSI yang bernaung di bawah PKI yang bangkit kembali akibat deklarasi NASAKOM. Saat itu di Kalimantan Timur terdapat perusahaan tambang migas milik Belanda-Inggris dan merupakan perusahaan terbesar di Indonesia.
Baca Juga: Membuka Pesan di Balik Lagu Internationale untuk Perjuangan Buruh
Perusahaan itu bernama BPM-Sheel. Lewat Persatuan Buruh Minyak (Perbum) yang merupakan bagian SOBSI, perusahaan ini berhasil dinasionalisasi dan menjadi aset utama Pertamina.
Namun perjuangan buruh pada masa selanjutnya mengalami penggembosan dari pemerintah Sukarno. Hal itu diungkapkan Peneliti Puslit Studi Budaya dan Laman Batas Universitas Brawijaya, FX Domini BB Hera.
BB Hera mengungkapkan, buruh—termasuk pegawai, kerap bersolidaritas saling bersolidaritas dalam pemogokan untuk menuntut kesejahteraannya.
"Mogok itu dulunya dianggap hak ketika negosisasi tidak menjadi akhir," ujarnya dalam Diskusi Sejarah, Jejak Buruh dalam Historiofrafi Indonesia (Masa Kolonial-Reformasi) yang diadakan Universitas Negeri Yogyakarta, Sabtu (01/05/2021).
"Misal kalau ada dosen PNS, itu melakukan solidaritas maka akan minta teman0teman yang lain juga orang fakultas, hingga juru pakir untuk ikut mogok. Itu cukup memusingkan pemerintah."
Karena banyak permogokan dan persatuan solidaritas inilah, pemerintah membuat PP No 31 tahun 1954 tentang Pekerja Pemerintah. Ia menilai regulasi ini merupakan titik awal pemisah antara pegawai dan buruh, sehingga gerakan politik jadi terbatas.
"Sejak peraturan itu diberlakukan, pegawai itu tidak lagi dikontrol untuk ikut pemogokkan buruh," paparnya. "Jadi [pegawai] didomestifikasi atau penjinakan atas buruh itu sendiri."
Akibatnya, ia menambahkan, pemecahan ini melahirkan kosakata "karyawan" pada 1960-an dalam perselisihan SOBSI vs SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia)—yang sudah dikontrol dan memiliki peran tokoh angkatan darat.
Baca Juga: Samin Surosentiko dari Ningrat Jadi Tokoh Perlawanan Tani dan Buruh
Semenjak persitiwa G30S yang mengakibatkan tokoh-tokoh militer diculik, kalangan buruh juga berdampak.
"Para aktivis buruh dan PKI dibunuh dan sebagian lagi di penjarakan. Mereka tidak memiliki hak politik lagi. Seluruh gerakan buruh dianggap sebagai komunis yang membahayakan negara," tulis Sulistyo dalam artikel jurnalnya.
"Lawan gerakan buruh bukan hanya Angkatan Darat tetapi 'seluruh rakyat Indonesia'."
Akibatnya tak ada lagi pemogokan pasca 1965, terutama saat Suharto berkuasa.
BB Hera menambahkan, bahwa saat Orde Baru berkuasa, Hari Buruh dihapus pada 1968. Pemerintah berencana menggantinya menjadi Hari Pekerja Nasional pada 22 Februari 1994.
"Keinginan untuk menghapus 1 Mei sendiri, pemeirntah Orba itu kelimpungan dan sangat terlambat," ia berpendapat.
Baca Juga: Sering Duduk Seharian di Kantor? Selingi Kebiasaan Ini Agar Tetap Sehat
Sekian lama tak ada Hari Buruh, aksi itu kemudian muncul lagi pada 1995 dan mendapatkan represi dari pemerintah Orde Baru. BB Hera berujar, Hari Buruh menjadi puncak perayaannya menentang Orde Baru pada 1999, ketika Presiden Habibie berkuasa.
Di tahun itu pulalah, partai buruh dan pekerja mulai bermunculan kembali setelah dilarang oleh Orde Baru. Era Reformasi pun menghantarkan Hari Buruh 1 Mei sebagai libur nasional pada 2014, atas instruksi Menteri Tenaga Iskandar di masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono.