Aceh dan Pemkab Blora Berencana Mengembangkan Makam Pocut Meurah Intan

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 19 Mei 2021 | 10:00 WIB
Makam Pocut Meurah Intan di Desa Temurejo, Blora, Jawa Tengah. (Afkar Aristoteles Mukhaer/National Geographic Indonesia)

 

Nationalgeographic.co.id—Sekian lama dirawat oleh ahli waris RMN Dono Muhammad, penghulu Kabupaten Blora masa Hindia Belanda, pemerintah Kabupaten Blora bersama Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Nagan Raya, Provinsi Aceh akan merawat makam Pocut Meurah Intan.

Rencana kerja sama itu dibicarakan dalam pertemuan kunjungan DPRK Nagan Raya dengan Bupati Blora, Arief Rohman.

"Kita diskusi banyak hal, salah satunya tentang rencana pengembangan makam Pocut Meurah Intan," kata Puji Hartini wakil ketua DPRK Nagan Raya, dikutip dari rilis Pemkab Blora.

Baca Juga: Pocut Meurah Intan, Perempuan Tangguh Aceh yang Diasingkan ke Blora

"Bagi rakyat Aceh, almarhumah ini merupakan perempuan pemberani pada zaman Belanda sampai diasingkan ke Blora,” sambungnya. “Kita siap memfasilitasi, menjadi penghubung antara Pemkab Blora dengan pemerintah Aceh nantinya."

Menanggapi Puji, Arief Rohman menyambut rencana ini dengan positif karena diharapkan bisa menjadi situs sejarah dan religi. "Kita dari Blora pengennya juga bisa mengembangkan makam almarhumah, seperti halnya di Sumedang dengan makam Cut Nyak Dien," ujar Arief.

"Namun karena keterbatasan anggaran Pemkab, kita ingin menjalin kerjasama dengan Pemerintah Aceh. Semoga kedepan bisa dikembangkan bersama menjadi tujuan wisata sejarah dan religi."

Pertemuan itu kemudian dilanjutkan dengan ziarah bersama ke makam Pocut Meruah Intan di Desa Temurejo yang berjarak empat kilometer dari alun-alun kota.

Baca Juga: Kisah Perempuan: Menelisik Ketangguhan Perempuan Aceh di Masa Lalu

Pocut Meurah Intan ()

Makam Pocut Meurah Intan sendiri hingga kini masih diurus oleh Mochammad Djamil dan Lilik Yuliantoro. Mereka adalah generasi ketiga dan keempat dari keluarga RMN Dono Muhammad untuk mengurus makam itu.

Di masa lampau, RMN Dono Muhammad tidak hanya menjadi penghulu, melainkan sahabat Pocut Meruah Intan sendiri. Ia membantu membebaskan pahlawan Aceh itu dan disembunyikan ke tempat tinggalnya di depan Masjid Agung Blora.

Meski RMN Dono Muhammad meninggal pada 1933, Pocut Meurah Intan yang sudah berusia senja itu dilanjutkan oleh anak-anaknya. Hingga akhirnya ia wafat pada 1937, dengan wasiat agar dimakamkan di Blora saja.

Makam Pocut Meurah Intan sendiri berada di kompleks pemakaman keluarganya dan tokoh agama Blora di masa lampau yang juga turut dirawat.

 

Djamil mengungkapkan, perawatan makam Pocut Meurah Intan sendiri dilakukan dengan tenaga dan biayanya sendiri dan keluarga. Namun karena pagebluk Covid-19, pemasukan berkurang sehingga perawatan komplek makam itu hampir terbengkalai.

Selain itu masalah dalam keluarga di masa lalu sempat mewarnai keluarga RMN Mochammad Djamil, yang membuat beberapa bukti sejarah terkait Pocut Meurah Intan hilang.

"Pernah perwakilan Provinsi Aceh datang kemari, mereka mau memindahkan makanya ke Aceh. Tapi kami menentangnya karena ini udah jadi wasiat dari beliau langsung pada kami. Ini amanah yang diberikan pada keluarga kami," kata Djamil saat dijumpai National Geographic Indonesia, Maret lalu.

Lilik juga menambahkan mahasiswa Aceh, terutama yang berkuliah di Yogyakarta juga kerap datang untuk menemui keluarga pengurus. Tujuannya agar bisa disampaikan ke pihak berwajib di Aceh untuk memberikan bantuan pengurusan makam Pocut Meurah Intan.

Baca Juga: Dari Ganja Hingga Gigi Dokter, Uniknya Motif Batik Khas Cepu-Blora

"Beberapa kali juga mahasiswa Aceh—terutama yang kuliah di Jogja, ke sini. Kami sering diskusikan dengan mereka supaya bisa dapat bantuan (perawatan) dari Aceh lewat mereka (mahasiswa)," jelas Lilik saat dijumpai National Geographic Indonesia Maret lalu.

Salah satu ahli waris Pocut Meurah Intan dari putranya yang bernama Tuanku Ibrahim, Sugeng Riyadi, juga sempat menyuarakan agar makam itu dipugar. Wacana pemugaran itu disampaikannya pada mantan Bupati Blora Soemarno yang menjabat 1979-1989.

“Namun, hingga sekarang tidak ada kelanjutannya,” kata Sugeng, yang dikutip dari media lokal Bloranews 2019 lalu.