"Anda bisa lihat lukisan seorang raja dan terkagum-kagum dengan kemewahan atau keindahannya," ujarnya dalam Vox. "Di sisi lain, jika paham monarki itu mengganggumu, maka Anda tak akan mengangapnya indah."
Ketika melihat sesuatu yang dianggap menarik atau indah, secara biologis, DMN akan aktif. DMN sendiri adalah Default Mode Network, yang merupakan otak yang aktif ketika bagian yang lainnya tentang. Kejadian ini sama seperti saat melamun, kata Chatterjee.
"Itu memicu seluruh asosisasi dan pemikrian yang terjadi di otak yang merupakan kebebasan imajinasi kita," jelasnya.
Paparan itu juga senada dengan hasil penelitian para ilmuwan dari New York University dalam Frontiers in Human Neuroscience, yang terbit pada 2012.
Dalam pengamatan terhadap sesuatu hal, terdapat emosi yang terpantik untuk merenunginya dan mengaktifkan DMN. Kemudian, kita memahami hasil perenungan dan menjadikannya sebagai referensi untuk definisi keindahan lainnya di dalam pikiran kita.
"Bahkan saat ingatan kita hilang," Chatterjee menambahkan.
Vissia Ita Yulianto dalam buku Pesona 'Barat': Analisa Kritis-Historis tentang Kesadaran Warna Kulit di Indonesia yang terbit pada 2007, menulis, pergeseran standar kecantikan dapat berubah.
Tetapi selama ini Indonesia sudah terpaku pada pesona warna kulit dari Barat, sehingga menganggap cantik adalah yang berkulit putih.
Ia menulis bahwa standar kecantikan sejatinya sudah dimiliki oleh suku dan kebudayaan Indonesia yang heterogen. Kecantikan—seperti wajah hingga warna kulit—masyarakat Indonesia memiliki ciri khas yang berbeda-beda.
Baca Juga: Pramusaji Cantik dapat Pengaruhi Persepsi Pengunjung Restoran, Benarkah?