Nationalgeographic.co.id—Indah, elok, cantik, maupun tampan, merupakan kata yang maknanya terhubung satu sama lain di KBBI. Bahkan pada 1854, psikolog Jerman, Adolf Zeising, menganggap bahwa kecantikan adalah hal matematis yang bisa diukur.
Dalam karyanya yang diarsip Österreichische Nationalbibliothek, ia mencetuskan rumusan angka untuk keindahan universal yang disebut golden ratio.
Golden ratio yang diterapkan pada keindahan juga diterapkan di manusia. Contohnya hari ini, lewat rasio itu Gigi Hadid dan Robert Pattinson mendapat penilaian tertinggi sebagai manusia tercantik dan tertampan.
Pada Gigi Hadid, skor golden ratio-nya mencapai 94,5 persen. Melansir Daily Mail, banyak perempuan yang rela operasi plastik dan menghabiskan uangnya demi menyerupai Gigi Hadid yang nyaris 100% memenuhi golden ratio.
Jika saja diadakan jejak pendapat, tentu tak semua orang mengamini bahwa Gigi Hadid dan Robert Pattinson sebagai yang tercantik dan tertampan di dunia. Sebab kita memiliki preferensi masing-masing akan definisi keindahan itu sendiri.
Meski dari itu, para ilmuwan dalam berbagai jurnal mengakui bahwa kecantikan atau ketampanan adalah keputusan utama mengapa seseorang dipilih untuk menjadi pasangan kita (Luo & Zhang, 2009; Kurzban & Weeden, 2005; Thao et al., 2010).
Hal serupa juga terjadi pada aplikasi kencan daring. Ada banyak yang menyukai seseorang karena keahlian, karakter, atau daya pintarnya. Namun, pada kenyataannya mereka—secara sadar maupun tidak sadar—lebih memilih yang tampangnya dianggap menarik, dan dari ras yang sama (Chopik & Johnson, 2021).
Baca Juga: Penelitian: Pria Lebih Tertarik dengan Wanita yang Tampil Secara Alami
“Yang juga mengejutkan adalah betapa kecilnya perkara selain daya tarik dan ras yang penting untuk swipe—seolah kepribadian tampak tidak penting, seberapa terbuka terhadap hubungan tidak penting, gaya pendekatan hubungan, dan apakah hubungan jangka pendek atau panjang bukan persoalan,” terang mereka.
Melansir PsychologyToday, para psikolog menganggap keelokan sangat penting bagi kita sebagai gambaran kualitas positif seseorang. Kebiasaan ini terjadi secara luas dalam konteks budaya manapun, dengan definisi kecantikannya masing-masing.
Misal, lewat tampang yang cantik pada seseorang, diharapkan menjadi lebih bahagia dan memiliki hidup yang memuaskan dari pada individu yang dianggap tak menarik.
Anjan Chatterjee, profesor neurulogi Perelman School of Medicine at the University of Pennsylvania, berujar bahwa pemahaman tiap individu pada keelokan dipengaruhi pengalaman, pendidikan, struktur masyarakat sekitar.
Baca Juga: Studi: Wanita Cantik Cenderung Berteman dengan yang Cantik
"Anda bisa lihat lukisan seorang raja dan terkagum-kagum dengan kemewahan atau keindahannya," ujarnya dalam Vox. "Di sisi lain, jika paham monarki itu mengganggumu, maka Anda tak akan mengangapnya indah."
Ketika melihat sesuatu yang dianggap menarik atau indah, secara biologis, DMN akan aktif. DMN sendiri adalah Default Mode Network, yang merupakan otak yang aktif ketika bagian yang lainnya tentang. Kejadian ini sama seperti saat melamun, kata Chatterjee.
"Itu memicu seluruh asosisasi dan pemikrian yang terjadi di otak yang merupakan kebebasan imajinasi kita," jelasnya.
Paparan itu juga senada dengan hasil penelitian para ilmuwan dari New York University dalam Frontiers in Human Neuroscience, yang terbit pada 2012.
Dalam pengamatan terhadap sesuatu hal, terdapat emosi yang terpantik untuk merenunginya dan mengaktifkan DMN. Kemudian, kita memahami hasil perenungan dan menjadikannya sebagai referensi untuk definisi keindahan lainnya di dalam pikiran kita.
"Bahkan saat ingatan kita hilang," Chatterjee menambahkan.
Vissia Ita Yulianto dalam buku Pesona 'Barat': Analisa Kritis-Historis tentang Kesadaran Warna Kulit di Indonesia yang terbit pada 2007, menulis, pergeseran standar kecantikan dapat berubah.
Tetapi selama ini Indonesia sudah terpaku pada pesona warna kulit dari Barat, sehingga menganggap cantik adalah yang berkulit putih.
Ia menulis bahwa standar kecantikan sejatinya sudah dimiliki oleh suku dan kebudayaan Indonesia yang heterogen. Kecantikan—seperti wajah hingga warna kulit—masyarakat Indonesia memiliki ciri khas yang berbeda-beda.
Baca Juga: Pramusaji Cantik dapat Pengaruhi Persepsi Pengunjung Restoran, Benarkah?