Pengetahuan soal Cuaca dan Iklim Didapat, Hasil Tani Kedelai Meningkat

By Utomo Priyambodo, Kamis, 6 Mei 2021 | 15:00 WIB
Seorang perajin tempe mengaduk kedelai dalam proses peragian. (Zika Zakiya)

Nationalgeographic.co.id—Rasa bahagia terpancar pada wajah A. Mijo. Ia adalah petani dari Dusun Sawahan 2, Kelurahan Bleberan, Kapanewon Playen, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Dia senang karena mendapatkan ilmu pengetahuan baru mengenai iklim dan cuaca setelah mengikuti Sekolah Lapang Iklim (SLI). Mijo mengatakan, sebelum mengikuti SLI dia hanya membudidayakan tanaman pertanian tanpa pedoman khusus.

“Kami hanya melihat lingkungan yang ada, tetangga, dan teman-teman yang seprofesi. Kami melihat (cara-cara) orang-orang terdahulu dalam budi daya pertanian,” kata Mijo dalam acara penutupan SLI, Rabu, 5 Mei 2021, yang dikutip dalam keterangan pers Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

Mijo bersyukur karena ilmu yang didapat dari SLI menambah wawasannya mengenai kondisi iklim dan cuaca. “Paling tidak memahami bedanya iklim dan cuaca,” ujar dia disambut tawa.

Mijo menuturkan, selama mengikuti pendidikan SLI, dia diperkenalkan dengan alat-alat pengukur suhu dan curah hujan. Selain itu, dia juga mendapat pengetahuan mengenai istilah-istilah dalam informasi iklim.

“Ini bagi kami sesuatu yang baru. ini pengalaman yang berharga bagi kami para petani,” ucap dia.

Mijo hanya mengikuti lima kali pertemuan tatap muka SLI. Namun setelah itu, dilakukan pula pendampingan secara digital selama masa tanam hingga panen, dan dilanjutkan dengan tambahan tatap muka dalam Focus Group Discussion.

Baca Juga: Makan Kacang Kedelai Baik Bagi Kesehatan Jantung, Ini Tiga Manfaatnya

Mijo dan rekan-rekan petani lainnya bersyukur karena ilmu pengetahuan mengenai cuaca dan iklim membuat hasil panen kedelai mereka meningkat. (Thinkstockphotos)

Mijo dan rekan-rekan petani lainnya bersyukur karena ilmu pengetahuan tersebut menjadikan hasil panen kedelai mereka meningkat. Selain itu, harga jual kedelai yang mereka produksi juga turut meningkat karena kualitasnya.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyebut SLI yang diikuti Mijo merupakan rangkaian kegiatan SLI operasional kedua yang digelar Stasiun Klimatologi Sleman. “Sekolah Lapang Iklim ini melibatkan secara penuh para penyuluh pertanian sebagai mediator/interface antara informasi iklim dan petani. Hingga tahun 2020, secara nasional SLI telah menjangkau lebih dari 13.850 peserta dari penyuluh pertanian, pemerintah daerah, babinsa, dan petani. Di provinsi DIY sebanyak 90 petani,” tutur Dwikorita.

Dwikorita mengatakan bahwa pada Agustus 2020 lalu BMKG juga telah menggelar SLI di tiga lokasi, yakni Kapanewon Gedangsari, Ponjong, dan Rongkop. Pelatihan yang digelar di tengah pandemi ini menjadi pengalaman baru bagi para petani.

Untuk tahun ini, kata Dwikorita, BMKG mengusung konsep kegiatan SLI Operasional dengan target kegiatan fokus pada kelompok tani binaan. Kegiatan SLI Operasional diadakan 5 kali pertemuan secara tatap muka dan virtual. Untuk pembelajaran virtual, BMKG menyiapkan modul-modul video visual yang dapat dimanfaatkan oleh para peserta SLI.

“Selain itu, konsep SLI Operasional new normal juga menyediakan media konsultasi iklim yang memanfaatkan media komunikasi WhatsApp group sehingga lebih interaktif,” imbuhnya.

Baca Juga: Punya Garis Pantai Terpanjang Kedua di Dunia, RI Terus Impor Garam?

SLI sendiri merupakan program pelatihan yang digelar BMKG sejak 2011. BMKG berharap SLI dapat mendorong para petani agar semakin melek teknologi dan ilmu keikliman sehingga bisa meningkatkan produktivitas hasil pertanian.

Dwikorita mewanti-wanti, kini sedang terjadi perubahan iklim di berbagai negara, termasuk karena pemanasan global. "Biasanya dingin jadi panas. Gurun Sahara yang biasa panas, tiba-tiba turun salju. Gunung Kidul yang biasa panas tiba-tiba hujan es. Iklim ini kebolak balik kacau... Dulu ada ilmu "titen", sekarang berubah. Di situlah kita perlu membaca iklim dengan peralatan," tegasnya.

SLI yang diikuti Mijo merupakan SLI yang digelar di Lahan Kelompok Tani Karangrejo. Lahan kelompok ini memiliki potensi tanaman kedelai tumpangsari dengan tanaman kayu putih.

Selama pelatihan, terdapat 35 orang peserta yang terdiri dari 32 anggota kelompok tani Karangrejo, 2 PPL, 1 POPT di lingkup Padukuhan Sawahan 2, Kelurahan Bleberan, Kepanewon Playen, Kabupaten Gunungkidul, dengan rincian Laki-laki 20 orang dan perempuan, 15 orang.

Baca Juga: Wabah Tikus Serang Queensland Australia, Petani Rugi dan Hotel Tutup

 

Berdasarkan hasil pengamatan Stasiun Klimatologi Sleman, pelaksanaan SLI Operasional di Padukuhan Sawahan 2 itu telah berdampak pada perubahan pemahamanan mengenai pola tanam dan cuaca. Hasilnya, terjadi peningkatan panen kedelai sebesar 9 persen di wilayah tersebut bila dibanding tahun sebelumnya.

Panen kedelai tahun 2020 mencapai 1,4 ton per hektare dengan harga rata-rata Rp7 ribu per kilogram sehingga pendapatan 1 hektare sebesar Rp9.800.000. Tahun 2021 produktivitas panen mencapai 1,525 ton per hektare dengan harga jual Rp9.500 per kilogram sehingga pendapatan 1 hektare adalah sekitar Rp14.487.500. Berkat hasil produktivitas dan harga jual yang meningkat ini, petani dapat meraup untung sebesar Rp4.687.500 per hektare.

Wakil Bupati Gunung Kidul Heri Susanto berharap hasil produksi kedelai di kabupatennya dapat terus meningkat. Menurut dia, sebanyak 2 ribu ton kedelai di Gunung Kidul bisa dipakai untuk mensubsidi kebutuhan benih nasional.

Heri optimistis kedelai akan terus dibutuhkan masyarakat Indonesia menilik komoditas tersebut menjadi kebutuhan pangan warga. Ia mencontohkan, tempe dan tahu adalah makanan sehari-hari masyarakat Indonesia yang berbahan kedelai.

"Kedelai memang dibutuhkan, menilik itu sebagai sumber protein yang bagus, sesuai kultur Indonesia, maka saya pikir ini produk kedelai akan tetap digunakan," ujarnya.