Periode-periode puncak konstruksi Peublo kuno ini dikelompokkan di sekitar musim-musim tanam jagung yang baik. Namun umumnya, masa-masa saat ada konstruksi tersebut sebenarnya secara iklim tidak lebih baik untuk menanam jagung daripada masa saat ada jeda dalam konstruksi tersebut.
Hasil sebuah penelitian baru yang terbit di jurnal PNAS menemukan bahwa sementara masyarakat Peublo kuno sering bangkit kembali dengan cukup cepat setelah masa konstruksi terjeda, ada perlambatan nyata dalam pemulihan yang bertepatan dengan peningkatan tanda-tanda kekerasan.
Perlambatan sistem semacam ini juga dapat dilihat pada keruntuhan-keruntuhan regional masyarakat kuno lainnya seperti Neolitikum Eropa, yang tidak memiliki kaitan dengan perubahan iklim. Jadi, menurut para peneliti, perlambatan menuju kerutuhan tiap peradaban ini menunjukkan sistem kompleks seperti kompleksnya hutan hujan tropis dan otak manusia.
"Sinyal-sinyal peringatan (keruntuhan suatu peradaban) itu ternyata sangat universal," ujar Marten Scheffer, ilmuwan kompleksitas dari Wageningen University, seperti dilansri Science Alert. "Mereka didasarkan pada fakta bahwa perlambatan pemulihan dari gangguan kecil menandakan hilangnya ketahanan."
Scheffer dan para koleganya menduga ketegangan sosial yang terakumulasi perlahan --seperti ketidaksetaraan kekayaan, ketidakadilan rasial, dan keresahan umum-- mengikis kohesi sosial sampai yang dibutuhkan hanyalah sedikit lebih banyak tekanan kekeringan lain untuk membuat mereka terpojok. Hal ini tampaknya terjadi pada masyarakat Pueblo sekitar tahun 700, 900, dan 1140 Masehi.
Baca Juga: Temuan Terkini Peradaban Transisi di Danau Matano: Ketika Zaman Neolitik Berjumpa Zaman Besi