Worthington mengutip sebuah cerita nyata yang cukup esktrem terkait pemberian maaf. Alkisah nyata, ada seorang pria bernama Chris Carrier yang ketika berusia 10 tahun diculik di dekat rumahnya di Florida dan kemudian dibawa penculiknya ke rawa-rawa. Dada dan perut Chirs ditikam berulang kali dengan pemecah es. Pelipisnya juga ditembak dengan pistol.
Hebatnya, beberapa jam setelah ditembak, dia masih bisa terbangun dengan rasik sakit di kepalanya dan tidak bisa melihat dengan satu matanya. Dia tersandung ke jalan raya dan menghentikan sebuah mobil yang membawanya ke rumah sakit.
Bertahun-tahun kemudian, seorang petugas polisi memberi tahu Chris bahwa pria yang dicurigai melakukan penculikan itu sedang sekarat dan hampir mati. "Temui dia," saran petugas itu. Chris melakukan lebih dari itu. Dia menghibur penyerangnya itu selama minggu-minggu terakhir kehidupan pria itu dan akhirnya memaafkannya, membawa kedamaian bagi mereka berdua.
Baca Juga: Mengapa Kita Mudah Memaafkan Saat Lebaran tapi Tidak di Waktu Lain?
Tindakan pengampunan Chris Carrier mungkin tampak tak terduga bagi sebagian orang, sebuah tindakan amal yang ekstrem atau bahkan kebodohan. "Memang, budaya kita tampaknya memandang pengampunan sebagai tanda kelemahan, ketundukan, atau keduanya. Sering kali kita merasa lebih mudah untuk menstigmatisasi atau merendahkan musuh kita daripada berempati atau memaafkan mereka. Dan dalam masyarakat sekompetitif kita, orang mungkin ragu-ragu untuk memaafkan karena mereka tidak ingin melepaskan keunggulan dalam suatu hubungan," tulis Worthington.
Namun begitu, menurut Worthington, sekarang adalah waktu bagi dunia untuk menggunakan lebih banyak memberikan pemaafan. "Orang-oran Amerika membenci dunia Muslim karena 11 September. Warga Irak dan sebagian besar Timur Tengah merasa dipermalukan oleh Amerika Serikat. Para diplomat di Perserikatan Bangsa-Bangsa saling bertengkar dan menghina satu sama lain, memicu atau menyalakan kembali persaingan nasional. Selain itu, banyak orang ragu-ragu untuk meminta atau memberikan maaf ketika mereka merasa tidak mendapatkan imbalan apa pun."