Lebaran Hari Saling Memaafkan, Apa Manfaatnya bagi Kesehatan?

By Utomo Priyambodo, Rabu, 12 Mei 2021 | 12:34 WIB
Meminta maaf dan memberi maaf adalah perilaku yang baik bagi kesehatan. (Taufiqur Riza Subthy)

 

Nationalgeographic.co.id—Hari Raya Idulfitri atau Lebaran identik sebagai hari untuk saling memaafkan. Banyak orang Islam saling berkunjung atau berkirim pesan untuk meminta maaf dan kemudian mendapat maaf.

Bermaaf-maafan bukanlah hal yang mudah, terutama untuk memberi maaf ketimbang meminta maaf. Filsuf Friedrich Nietzsche pernah berkata, "Jauh lebih menyenangkan untuk menyinggung dan kemudian meminta maaf daripada tersinggung dan memberikan maaf."

Meski memberi maaf bukanlah hal yang mudah, upaya ini sebenarnya dapat berdampak positif bagi diri kita sendiri. Terutama untuk kesehatan tubuh kita.

Everett L. Worthington, Jr., Ph.D., Profesor Emeritus Persemakmuran di Virginia Commonwealth University yang mempelajari perilaku-perilaku baik dalam psikologi positif, termasuk pemberian maaf, pernah menulis soal manfaat memaafkan di Greater Good Magazine, publikasi dari Greater Good Science Center di University of California, Berkeley.

Worthington mengutip sebuah cerita nyata yang cukup esktrem terkait pemberian maaf. Alkisah nyata, ada seorang pria bernama Chris Carrier yang ketika berusia 10 tahun diculik di dekat rumahnya di Florida dan kemudian dibawa penculiknya ke rawa-rawa. Dada dan perut Chirs ditikam berulang kali dengan pemecah es. Pelipisnya juga ditembak dengan pistol.

Hebatnya, beberapa jam setelah ditembak, dia masih bisa terbangun dengan rasik sakit di kepalanya dan tidak bisa melihat dengan satu matanya. Dia tersandung ke jalan raya dan menghentikan sebuah mobil yang membawanya ke rumah sakit.

Bertahun-tahun kemudian, seorang petugas polisi memberi tahu Chris bahwa pria yang dicurigai melakukan penculikan itu sedang sekarat dan hampir mati. "Temui dia," saran petugas itu. Chris melakukan lebih dari itu. Dia menghibur penyerangnya itu selama minggu-minggu terakhir kehidupan pria itu dan akhirnya memaafkannya, membawa kedamaian bagi mereka berdua.

Baca Juga: Mengapa Kita Mudah Memaafkan Saat Lebaran tapi Tidak di Waktu Lain?

Ketika Idulfitri tiba, tradisi saling memaafkan. Apa manfaat keikhlasan untuk memaafkan bagi kesehatan kita? (Freepik)

 

Tindakan pengampunan Chris Carrier mungkin tampak tak terduga bagi sebagian orang, sebuah tindakan amal yang ekstrem atau bahkan kebodohan. "Memang, budaya kita tampaknya memandang pengampunan sebagai tanda kelemahan, ketundukan, atau keduanya. Sering kali kita merasa lebih mudah untuk menstigmatisasi atau merendahkan musuh kita daripada berempati atau memaafkan mereka. Dan dalam masyarakat sekompetitif kita, orang mungkin ragu-ragu untuk memaafkan karena mereka tidak ingin melepaskan keunggulan dalam suatu hubungan," tulis Worthington.

Namun begitu, menurut Worthington, sekarang adalah waktu bagi dunia untuk menggunakan lebih banyak memberikan pemaafan. "Orang-oran Amerika membenci dunia Muslim karena 11 September. Warga Irak dan sebagian besar Timur Tengah merasa dipermalukan oleh Amerika Serikat. Para diplomat di Perserikatan Bangsa-Bangsa saling bertengkar dan menghina satu sama lain, memicu atau menyalakan kembali persaingan nasional. Selain itu, banyak orang ragu-ragu untuk meminta atau memberikan maaf ketika mereka merasa tidak mendapatkan imbalan apa pun."

Namun penelitian baru menunjukkan sesuatu yang berbeda, kata Worthington. Penelitian ini menunjukkan bahwa kisah Chris Carrier bukanlah anomali. Pemberian maaf tidak hanya dilakukan oleh orang suci atau martir, juga tidak hanya menguntungkan penerimanya. Sebaliknya, penelitian menemukan hubungan antara pemberian maaf dan kesehatan fisik, mental, dan spiritual serta bukti bahwa hal itu memainkan peran kunci dalam kesehatan keluarga, komunitas, dan bangsa.

Dalam sebuah penelitian, Charlotte vanOyen Witvliet, seorang psikolog di Hope College, meminta orang untuk memikirkan seseorang yang telah menyakiti, menganiaya, atau menyinggung mereka. Saat para responden itu sedang memikirkan seseorang tersebut dan keburukan masa lalunya, Witvliet memantau tekanan darah, detak jantung, ketegangan otot wajah, dan aktivitas kelenjar keringat mereka.

Baca Juga: Lebaran Dua Kali, Umat Islam Bisa Dapat THR Dua Kali pada Tahun 2033

Suasana silaturahim Idul Fitri di Lampung Barat yang dikemas dalam pesta sekura di Desa Kenali. (KOMPAS/ANGGER PUTRANTO)

 

 

Memikirkan kejahatan lama berarti mempraktikkan sikap tidak mau memaafkan atau mengampuni. Benar saja, dalam penelitian Witvliet, ketika orang mengingat dendam, gairah fisik mereka melonjak. Tekanan darah dan detak jantung mereka meningkat, dan mereka berkeringat lebih banyak.

Memikirkan dendam mereka membuat stres, dan para subjek menganggap perenungan itu tidak menyenangkan. Itu membuat mereka merasa marah, sedih, cemas, dan kurang terkendali. Witvliet juga meminta para respondennya untuk mencoba berempati dengan orang yang menyinggung perasaan mereka atau membayangkan memaafkan mereka. Ketika mereka mempraktikkan pengampunan atau pemaafan, gairah fisik mereka menurun drastis. Mereka tidak lebih menunjukkan reaksi stres daripada saat terjaga normal.

Kondisi-kondisi yang muncul saat tak mau memaafkan atau menyimpan dendam itu, seperti tekanan darah dan jantung yang meningkat, jelas meningkatkan potensi berbagai penyakit, terutama penyakit kardiovaskular. Oleh karena itu, tentu saja memaafkan seseorang yang telah melakukan hal buruk atau kejahatan kepada kita akan lebih bijak meski perilaku buruk atau kejahatan tersebut tidak akan bisa kita tolelir selamanya.

Selamat Hari Lebaran! Mari bermaaf-maafan.