Sains Terbaru, Perubahan Iklim Ubah Sumbu Bumi & Menipiskan Stratosfer

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 18 Mei 2021 | 11:00 WIB
Pencairan es sebagai dampak memanasnya Bumi akibat perubahan iklim. (Zika Zakiya)

Nationalgeographic.co.id - Perubahan iklim dan emisinya, memiliki dampak langsung yang kita anggap masuk akal karena berhubungan, seperti mencairnya es di kutub, hingga perubahan pola adaptasi makhluk dan kepunahannya.

Hubungan perubahan iklim dengan pola adaptasi misalnya, terjadi pada proses pemekaran bunga sakura (P. jamasakura) yang lebih awal dari semestinya. Kecepatan ini, berdasarkan pengamatan Japan Meteorological Agency, pemekarannya 10 kali lebih cepat dari rata-rata dalam 30 tahun.

Selain dampak yang bisa diamati secara langsung, ternyata ada pula dampak perubahan iklim lain pada planet kita yang diamati para ilmuwan.

Bagaimana kabar sains terbaru terkait suhu Bumi?

Baca Juga: Sakura Cepat Mekar karena Perubahan Iklim, Bagaimana di Masa Depan?

Misalnya hasil penelitian yang dipublikasikan di Geophysical Research Letters, Maret lalu. Para peneliti menulis dampak perubahan iklim yang  ternyata menyebabkan perubahan sumbu bumi.

Pengamatan itu dilakukan para ilmuwan sejak 1990-an, dan menemukan pencairan gletser yang masif mengakibatkan pergeseran sumbu magnet itu.

Sumbu bumi adalah titik sumbu rotasi dari utara ke selatan, dan bersifat tidak tetap--bahkan bisa berubah selama jutaan tahun. Perubahan ini dipantik oleh massa di sekitar Bumi turut berubah, sehingga menyebabkannya bergerak.

Para ilmuwan menulis, kutub mengalami pergeseran dari selatan ke timur pada periode 1995-2020 adalah 17 kali lebih cepat daripada 1981-1995.

Mereka menulis, bahwa pemompaan air tanah juga mungkin berkontribusi pada perubahan. Air yang disimpan di bawah tanah itu mengalami pemompaan akibat minum dan pertanian.

Baca Juga: Batu Hijau Kecil di Antartika Memberi Peringatan soal Masa Depan Bumi

Lapisan langit dari yang teratas yakni mesosfer, stratosfer, dan troposfer. Ozon berada di strastosfer, sedangkan kehidupan ditemukan di troposfer. (NASA)

Padahal selama 50 tahun terakhir, manusia telah menggunakan sekitar 18 triliun ton air dari penyimpanannya di bawah tanah.

Penemuan sains terbaru lainnya juga mengungkapkan bahwa emisi iklim membuat strastofer bumi kian menipis. Studi itu tersedia di Environmental Research Letters, Rabu (05/05/2021).

Stratosfer adalah lapisan di atmosfer yang memanjang dari sekitar 20 km hingga 60 km di atas permukaan Bumi. Di bawahnya terdapat troposfer yang merupakan tempat manusia hidup, bersama karbon dioksida yang memanas dan memperluas udara.

Menurut para ilmuwan dari berbagai instansi akademis itu, itulah yang mendorong batas bawah stratosfer dengan memasukinya, sehingga mendingindkan udara, dan menyebabkannya berkontraksi.

Juan Antonio Añel, salah satu peneliti dari University of Vigo menyebut penysutan ini adalah sinyal telak untuk kondisi darurat iklim, dan pengaruh besar akibat aktivitas manusia selama ini.

"Ini mengejutkan. Ini membuktikan kita mengacaukan atmosfer hingga 60 kilometer," katanya, dikutip dari The Guardian.

Kemudian studi ini berhasil mengungkap, dan menunjukkan kontraksi ini sudah terjadi di seluruh dunia sejak 1980-an, berdasarkan data satelit yang dikumpulkan.

Hasil studi yang mereka temukan justru karena karbon dioksida yang makin marak dan menyerang konstraksi stratosfer yang semestinya stabil--bukan karena ozon yang menipis.

Baca Juga: Ketika Sedotan Metal Bukan Solusi Bijak Atasi Kerusakan Lingkungan

Berbeda dengan penelitian terdahulu yang juga menjadi acuan hipotesis studi ini. Penelitian sebelumnya beranggapan lapisan ozon yang menyerap sinar UV matahari menyusut. Penyusutan ozon ini kemudian mempengaruhi lapisan stratosfer. Singkatnya, semakin sedikit ozon, berarti lebih sedikit pemanasan yang ada di stratosfer.

Pengamatan yang dilakukan Añel dan timnya ini lewat satelit yang mengambil gambar stratosfer sejak 1980-an. Kemudian digabungkan dengan beberapa model iklim yang mencakup interkasi kimia yang berada di atmosfer.

"Ini bisa mempengarhui lintasan satelit, kehidupan di orbit, dan gelombang radio," tulis mereka dalam laporan. "Dan akhirnya kinerja kesuluruhan Global Positioning System (GPS) dan sistem nivagasi berbasis ruang lainnya."

Baca Juga: Penemuan Mengejutkan, Amazon Sudah Jadi Sumber Pencemar Udara di Dunia